REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Advokat publik Febi Yonesta mengatakan anggota DPR yang mengusulkan pengampunan bagi terpidana kasus korupsi dengan tebusan minimal tiga persen harta kekayaan patut dipertanyakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
"Usulan itu merupakan bentuk dekriminalisasi yang menurut saya tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan agenda pemberantasan korupsi," kata Febi Yonesta, Kamis (8/10).
Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu mengatakan, bila pemerintah menyetujui usulan tersebut, maka pemerintah telah kehabisan akal dan tidak mampu menyita harta para koruptor.
"Saya curiga kalau hal ini akan menguntungkan koruptor dan malah mengalihkan tanggung jawab pidana menjadi perdata," tuturnya.
Sebanyak 33 anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PPP dan Fraksi PKB mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019.
Menurut RUU tersebut, negara bisa memberikan pengampunan bagi koruptor bila menyerahkan tebusan minimal tiga persen dari harta kekayaan yang dimiliki.
Dasar pengusulan itu adalah adanya pengampunan pajak yang diberikan pemerintah. Bila para pengemplang pajak diampuni ketika mengakui hartanya, sejumlah anggota DPR mengusulkan koruptor juga diampuni bila menyerahkan tiga persen hartanya sebagai tebusan.
Rancangan aturan itu akan difokuskan pada pengembalian uang negara yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.