REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Betti Alisjahbana mengkritik izin penyadapan dari pengadilan negeri. Betty mengatakan penyadapan merupakan kewenangan KPK yang sangat penting, karena terdapat banyak sekali operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK setelah dilakukannya penyadapan.
Kepada wartawa di Jakarta, Ahad (11/10), ia menilai, kewenangan penyadapan yang dilakukan sudah memiliki aturan dan proses yang jelas. "Kalau penyadapan harus mendapatkan izin dari pengadilan tinggi, nah kalau yang bermasalah hakim bagaimana? Dan sebetulnya penyadapan itu aturannya jelas, prosesnya jelas, dan itu diaudit dan itu mengikuti standar internasional mengenai lawful interception," jelas Betty.
Tak hanya itu, Betty juga mengkritisi poin revisi terkait kasus di bawah Rp 50 miliar yang ditangani kepolisian. Ia mengatakan, lembaga KPK lebih fokus menindak korupsi dalam penyelenggaraan negara, bukan nilai yang dikorupsi.
"Ada banyak contoh yang pada awalnya nilainya mungkin di bawah Rp 50 miliar, tapi kemudian belakangan terlihat bahwa ada dimana-mana kasus itu," sebut dia.
"Contoh pengadaan alat pemadam kebakaran," kata dia melanjutkan, "kalau satu tempat pasti di bawah Rp 50 miliar, tapi ternyata di berbagai tempat. Jadi fokusnya bukan kepada jumlah, fokusnya kepada penyelenggaraan negara."
Dalam melaksanakan tugasnya, sambung Betty, para pemimpin KPK juga diawasi oleh dewan etik. Sehingga, jika pimpinan KPK melakukan kesalahan dan melanggar etika, masyarakat dapat melaporkannya.