REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI menyatakan secara umum anggaran negara baik yan dikelola pemerintah pusat maupun daerah, belum mampu dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Peningkatan anggaran di Indonesia baik APBN maupun APBD, secara umum belum berdampak positif, yang sebanding dengan kesejahteraan rakyat," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis di Tanjungpinang, Selasa (13/10).
Harry melanjutkan, seharusnya peningkatan anggaran negara memberi dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebab, tujuan dari pengelolaan anggaran negara yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Selain itu, efek yang diharapkan dari peningkatan anggaran juga tidak serta merta bertumbuh pada suatu daerah, melainkan merata di setiap daerah seluruh Indonesia," ujarnya.
Sebagai contoh pada 2004, APBN mencapai Rp400 triliun, sekarang meningkat menjadi Rp2.000 triliun. Berarti selama 10 tahun pertumbuhan anggaran kurang lebih 500 persen.
Apabila dibagi rata-rata per tahun, maka pertumbuhan anggaran tersebut sekitar 50 persen. Namun, tingkat pertumbuhan anggaran tersebut tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat hingga kini.
"Ketidakseimbangan ini disebabkan adanya politik anggaran, dan sikap pemerintah, DPRD masih belum konsen terhadap konsep kesejahteraan rakyat itu sendiri," tegasnya.
Jika dilihat dari kecenderungan dalam pengelolaan keuangan negara, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sudah bertambah baik. Namun jika dibandingkan lima tahun silam, lanjutnya pemerintah pusat meraih predikat wajar tanpa pengecualian dalam pengelolaan anggaran meningkat dari 50 persen menjadi 70 persen.
"Hal yang sama juga dialami pemerintah daerah. Jika pada lima tahun lalu peraih WTP hanya kisaran 30 persen, sekarang menjadi 50 persen," katanya.