REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Penetapan tanggal 1 Suro berdasarkan penanggalan jawa oleh Keraton Yogyakarta pada tahun ini, berbeda dengan tanggal 1 Muharram berdasarkan kalender Hijriyah.
Sesuai dengan penetapan Keraton Yogyakarta 1 Suro Jimawal 1949 jatuh pada Kamis (15/10), sedangkan 1 Muharram jatuh pada Rabu (14/10).
"Yang membuat penanggalan itu saya dan berdasarkan perhitungan tanggal 1 Suro jatuh tanggal 15 Oktober, karena ada hitungannya sendiri," kata GBPH Prabukusumo selaku Pengageng Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Widyo Budoyo lan Pustaka Keraton Yogyakarta.
Secara terpisah, Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X mengatakan perbedaan penentuan 1 Suro antara Keraton Yogyakarta dan pemerintah karena menggunakan dasar perhitungan yang berbeda.
Menurut Sultan HB X Keraton Yogyakarta dalam penentuan 1 Suro menggunakan kalender Sultan Agung-an yang tidak berdasarkan bulan, melainkan memiliki perhitungan dengan rumus tersendiri.
"Sepertinya baru kali ini yang berbeda," ucapnya, Rabu (13/10).
Sultan HB X dan juga Gubernur DIY ini mengatakan ritual mubeng beteng (mengitari benteng) itu sendiri bukan berasal dari Keraton Yogyakarta melainkan merupakan inisiatif masyarakat yang diselenggarakan setiap malam 1 Suro.
Tahun ini Abdi dalem Keprajan juga menyelenggarakan ritual mubeng beteng. Semula mereka akan melaksanakan ritual tersebut Selasa malam (13/10), karena dalam kalender yang ditentukan pemerintah 1 Muharram jatuh Rabu (14/10). Namun, akhirnya pelaksanaan mubeng beteng abdi dalem Keprajan diundur Rabu malam.
"Kami sudah menerima surat dari Kanjeng Gusti Hadiwinoto (red. Penghageng Tepas Panitikismo Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto) yang isinya "Didawuhi tradisi lampah budaya topo bisu Mubeng Beteng tanggal 14 bengi" (red. ''Diminta tradisi jalan dengan membisu mengelilingi Beteng tanggal 14 malam'')," katanya Pembina Abdi Dalem Keprajan KPH Mangunkusumo.