REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun baru hijriah sebagai sistem penanggalan Islam yang yang didasarkan pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya dari Makkah menuju Madinah, memiliki makna yang cukup berarti.
Hijrah dianggap sebagai peristiwa penting yang menjadi titik tolak kesuksesan Rasulullah membangun umat terbaik (khaira ummah), masyarakat dengan tatanan kehidupan Islami yang berdiri tegak diatas prinsip-prinsip kejujuran (sidik), terpercaya (amanah), keadilan (‘adalah), musyawarah (syura), persamaan (musawah), dan toleransi (tasamuh).
Karena itu, pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab menetapkan 1 Muharram sebagai awal tahun baru hijriah, meskipun hijrah itu sendiri sebenarnya dilakukan pada bulan Rabi’ul Awal. Makna penting dari sejarah penetapan 1 hijriah sebagai penanggalan Islam tersebut, harus menjadi momen historis penuh makna dan inspirasi bagi umat islam.
"Dalam konteks pembangunan desa, spirit hijrah sangat kita perlukan agar pembangunan desa benar-benar mampu mewujudkan desa Indonesia yang mandiri, kuat, maju dan sejahtera lahir batin," ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinnggal dan Transmigrasi Marwan Jafar di Jakarta, Rabu (14/10).
Jika hijrah dimaknai sebagai perpindahan, perubahan, menurut Marwan, memang sudah saatnya masyarakat berpindah, meninggalkan mindset lama yang menempatkan desa hanya sebagai objek pembangunan tanpa keterlibatan yang layak dalam prosesnya.
"Berhijrah, menuju mindset baru yang menghargai desa secara layak sebagai subyek, sebagai pelaku utama dalam pembangunan desa, yang memiliki wewenang penuh dalam seluruh proses pembangunan desa," ujarnya.
Namun, imbuh Marwan, yang perlu berhijrah bukan hanya mindset terhadap desa, tetapi juga 'desa' itu sendiri juga perlu melakukan perpindahan, perubahan diri ke arah yang lebih baik. "Pola pikir dan perilaku lama yang kurang baik harus ditinggalkan, berhijrah kepada pola pikir dan perilaku yang lebih amanah dan bertanggung jawab," katanya.