Kamis 29 Oct 2015 07:59 WIB

Hati-Hati Enam Info Menyesatkan Soal Upah Buruh

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Ratusan buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menggelar aksi menolak Rancangan Peraturan pemerintah (RPP), di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (28/10).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Ratusan buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menggelar aksi menolak Rancangan Peraturan pemerintah (RPP), di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (28/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri meminta buruh berhati-hati dengan informasi yang berkembang mengenai PP Pengupahan. Hal ini terkait dengan ditemukannya indikasi penyesatan informasi oleh pihak tertentu yang disebarkan ke kalangan buruh.

Penyesatan itu diduga dilakukan agar buruh mudah digerakkan turun ke jalan dan demo menolak PP Pengupahan. "Teman buruh hati-hati terhadap informasi menyesatkan baik di lapangan maupun di media sosial", kata Hanif, Kamis (29/10).

Enam contoh penyesatan informasi soal PP Pengupahan itu, misalnya pertama, dikatakan upah buruh hanya akan naik lima tahun sekali. "Itu jelas tidak benar," ucapnya. 

Dengan sistem formula dalam PP Pengupahan, upah buruh dipastikan naik setiap tahun, bukan setiap lima tahun. "Tidak perlu demo dan tidak perlu rame-rame yang melelahkan bagi semua," ujarnya. 

Kedua, dikatakan bahwa buruh yang menjalankan tugas serikat pekerja upahnya tidak dibayarkan. Hal ini juga tidak benar. Buruh yang menjalankan tugas serikat pekerja tetap harus dibayar upahnya. 

Ketiga, dikatakan dengan formula pengupahan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, maka perhitungan  upah tidak memperhitungkan komponen hidup layak (KHL) dan kenaikannya tidak akan lebih dari 10 persen. "Ini juga tidak benar karena upah minimum tahun berjalan sebagai dasar perhitungan sudah mencerminkan KHL dan untuk tahun 2016 saja kenaikan upah minimum akan mencapai 11.5 persen," jelas Hanif.

Keempat, dikatakan bahwa struktur dan skala upah dimana pengupahan mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan maupun produktivitas ditiadakan. Ini juga tidak benar karena dalam PP Pengupahan justru mewajibkan perusahaan untuk membuat dan menerapkan struktur dan skala upah. Dalam perkara inilah sebenarnya serikat pekerja harus berunding lebih baik dengan pengusaha di forum bipartit, bukan di jalanan.

Kelima, dikatakan bahwa perlindungan terhadap upah ditiadakan. Ini tidak benar karena dalam PP Pengupahan masalah perlindungan upah malah ditegaskan dengan sanksi mengacu pada UU 13/2003 dan ditambah dengan sanksi administratif, termasuk penghentian sebagian atau seluruh proses produksi.

Keenam, dikatakan bahwa serikat pekerja dihilangkan peranannya dalam pengupahan. Ini juga tidak benar karena dalam PP Pengupahan serikat pekerja justru makin penting peranannya dalam merundingkan upah layak pekerja dengan masa kerja di atas 1 tahun melalui penerapan struktur dan skala upah di perusahaan.

Hanif mengatakan selain enam poin tersebut, masih banyak isu senada yang tujuannya memprovokasi buruh agar mau turun ke jalan. "Makanya saya ingatkan agar jangan semua informasi ditelan mentah-mentah. Silakan cek isi regulasinya di laman Kemnaker," ucapnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement