REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Fakta sejarah Letnan Kolonel Ignatius Slamet Riyadi pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda dan pemberontak di Maluku penuh heroik, patut ditiru oleh prajurit TNI masa kini, kata mantan ajudannya.
Fakta sejarah tersebut diceritakan kembali oleh mantan ajudannya yang masih hidup, Kolonel Purn Aloysius Sugianto, pada acara Mengenang Perjuangan Slamet Riyadi di Ambon, Maluku, yang diselenggarakan Kodam XVI/Pattimura, Selasa (3/11).
"Kami mengucap syukur dan terima kasih serta memberikan penghargaan kepada Bapak Pangdam XVI/Pattimura Meyjen TNI Doni Monardo, karena kami diundang dan diberi kesempatan untuk berziarah ke makam Brigadir Jenderal Anumerta Ignatius Slamet Riyadi, di Ambon," kata Kolonel Purn Aloysius Sugianto.
Ia menjelaskan, saksi sejarah dalam perjuangan bersama Slamet Riyadi yang masih hidup sampai saat ini ada tiga orang, yakni Kolonel Purn Suyoto, dulu bertugas sebagai Kepala Staf Battalion Surdji yang ikut bertugas di Ambon, Letnan Dua Suhadi, yang bertugas sebagai Komandan Grup atau Komandan Pengawal.
"Saya sendiri yang bertugas mendampingi Letkol Slamet Riyadi atau sebagai ajudan. Mungkin hanya kami bertiga pelaku sejarah penumpasan pemberontakan RMS yang masih hidup," kata Aloysius.
Ia menuturkan, Brigjen Anumerta Slamet Riyadi adalah tokoh militer muda yang cerdas, dalam usia 22 tahun, beliau menjadi orang termuda di wilayah Kodam Diponegoro yang berpangkat Letkol dan menjadi Komandan Brigade V Solo.
Pendidikan Slamet Riyadi hanya Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) Cilacap, dibandingkan dengan perwira lain yang masih berasal dari PETA (Pembela Tanah Air) didikan tentara Jepang. Selain itu, jika memimpin operasi beliau selalu berdiri paling depan.
"Slamet Riyadi memimpin serangan selama empat hari dan empat malam, pada 17-11 Agustus 1949 di Solo, yang membuat pimpinan pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl akhirnya mengkaui kedaulatan NKRI," ungkapnya.