REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undp), Teguh Yuwono memperkirakan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak bakal tetap diwarnai para botoh (pejudi).
Bahkan keberadaan para ‘botoh’ ini bakal semakin masif pada pelaksanaan pilkada serentak di Jawa Tengah, 9 Desember 2015 mendatang. Sebab –secara kultur— keberadaan botoh ini erat hubungan dengan praktik politik uang.
"Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin pilkada serentak bebas dari politik uang," ujarnya saat menjadi pembicara pada focus group discussion (FGD) 'Mewaspadai Botoh dalam Pilkada Serentak' yang digelar di Gedung Pers Semarang, Kamis (12/11).
Jawabanya, jelas Teguh, besar kemungkinan para botoh ini akan lebih banyak mewarnai pelaksanaan pilkada serentak di 21 daerah yang ada di Provinsi Jawa Tengah nanti.
Menurutnya, keberadaan botoh dalam Pilkada, terjadi karena sistem dan kultur demokrasi yang belum mapan. Sehingga muncul politik bawah tanah untuk merebut dukungan melalui uang.
Di sisi lain, para botoh ini merupakan para pemburu rente. Mereka memanfaatkan ketatnya kompetisi pemilihan kepala daerah, hingga calon yang bertarung bakal sulit menang kalau tidak menggunakan cara underground. Sementara biaya politik yang harus dipikul begitu besar.
"Sehingga muncul fenomena para petaruh 'modal' dengan harapan akal meraup untung yang berlipat jika calon yang didukung menang," jelasnya.
Oleh karena itu, Teguh menegaskan perlunya kiat untuk melakukan penguatan pemilih cerdas, rasional dan loyalis. "Sehingga mereka tidak mempan iming- iming apapun dari para botoh," tegasnya.