Jumat 13 Nov 2015 05:45 WIB

Ini Catatan KIPP tentang Putusan MK Terkait Batasan Dukungan Parpol Ajukan Paslon Pilkada

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Julkifli Marbun
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia memberi catatan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan dukungan partai politik (Parpol) pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak dalam mengajukan pasangan calon.

Menurut Anggota Caretaker KIPP Indonesia Girindra Sandino, terbelahnya pendapat Hakim MK dalam memutus perkara uji materi pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota (UU Pilkada), khususnya dalam hal ini pasal 40 ayat (1) dan ayat (4) terkait batasan syarat dukungan parpol dapat mendaftarkan Paslon pada pilkada Serentak menjadi catatan tersendiri bagi dinamika politik di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam UU Pilkada bahwa syarat parpol atau gabungan parpol dapat mengajukan paslon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Pemohon atau penggugat menilai bahwa kata “dapat” dan frasa “jika telah” dalam rumusan pasal 40 ayat (1) menghilangkan daya imperatif pasal a quo, sehingga memberi ruang kepada parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan maupun tidak mengajukan paslon.

Sementara pada pasal 40 ayat (4) pemohon menggugat batasan maksimal gabungan parpol  dalam mengajukan paslon paling banyak 60 persen, dinilainya untuk menghindari pemborongan dukungan yang menimbulkan calon tunggal dan memberi kesempatan kepada yang lain untuk berkompetisi.

"Salah satu persoalan mendasar dalam dinamika sistem politik sekarang  adalah tidak ada satu pun pranata kekuasaan politik otoritatif yang dengan teguh menegakkan “konsensus-konsensus politik” seperti perkara-perkara pemilu maupun pilkada sebelumnya," katanya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (13/11).

Dalam konteks itu, kata dia,  MK mengedepankan sebagai pranata konstitusional dengan wewenang yang bersumber pada undang-undang dasar (UUD) 1945 (“Konstitusi 2000”) dan UU 8/2011 tentang MK. MK dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan  materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU, bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Dalam hubungan itu KIPP Indonesia berpendapat beberapa hal. Pertama, ditolaknya permohonan tentang batasan syarat pasangan calon oleh MK, di satu sisi, seperti amar putusan MK, memang hak konstitusional parpol, tidak mengandung unsur diskriminasi karena berlaku objektif untuk semua parpol serta  tidak mengingkari hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam 28D ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, di samping yang telah disampaikan oleh dalil-dalil pemohon maupun dissenting opinion hakim-hakim MK lainnya. Hal ini dinilai pihaknya akan berdampak pada Pilkada serentak periode berikutnya tanpa ada capaian solutif yang komprehensif tentang persoalan calon tunggal, walau sudah diputus beberapa waktu lalu oleh MK tentang mekanisme pemilihan berwujud referendum yakni “setuju” atau “tidak setuju” dan legal standing untuk pemantau dalam mewadahi gugatan suara “tidak setuju”.

"Kedua, Bagaimana jika permasalahan calon tunggal semakin massif di Pilkada serentak berikutnya, apabila tidak ada syarat batasan maksimal bagi parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan paslon?" tanya dia.

Karena, kata dia, bukan mustahil persoalan calon tunggal ini akan menyebabkan political fragility (kerapuhan politik) oleh karena dikhawatirkan ketidaksiapan perangkat hukum maupun pelaksana dalam hal ini penyelenggara, para pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat. Hal ini harus diantisipasi ke depan. Ketiga,  dipastikan tirani modal yang terkonsentrasi di setiap ajang Pilkada semakin menjadi. Liberalisasi dan Komersialisasi demokrasi’ yang tidak terhindarkan sudah melekat sebagai karakter pelaksanaan kedaulatan rakyat di negeri ini nampak semakin parah. Tidak satu pun kekuatan politik resmi yang mampu keluar dari situasi itu, sementara prosedur-prosedur demokrasi dilaksanakan sekadar mengejar citra legalitas, bukan substansi legitimasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement