REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam tak menafikan adanya pemimpin yang zalim dalam menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid berpendapat, pemimpin zalim dapat diartikan sebagai pemimpin yang melanggar aturan dan tidak memperhatikan rakyat, menyebabkan rakyat menderita, dan tidak adil.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Sholah ini, tidak ada perbedaan signifikan dalam mengkritik pemimpin yang zalim. Kritik harus tetap disampaikan dengan cara yang baik dan data yang valid. “Dengan fakta-fakta dan data-data, bukan dengan fitnah,” ujar dia kepada Republika, Rabu (11/11).
Kritik, kata Gus Sholah, hendaknya disampaikan terkait dengan kebijakan yang dihasilkan oleh pemimpin, bukan pribadi sang pemimpin itu sendiri. Ini harus disampaikan dengan bahasa yang baik, tidak kasar, dan tidak mengandung sentimen pribadi.
Di masa sekarang, kritik dapat dilakukan dengan berbagai media, baik surat terbuka, televisi, media sosial, bahkan dengan demonstrasi. “Asal sesuai dengan aturan yang ada,” kata putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini.
Dalam konteks wilayah tertentu seperti kota atau negara, menteri maupun pejabat di bawah presiden atau gubernur juga boleh memberikan saran. Namun, ini tidak boleh disampaikan di ruang-ruang terbuka. Para menteri dapat bertemu langsung dengan presiden untuk meminta kebijakan ditinjau kembali.
Jika keputusan telah dibuat, kata Gus Sholah, menteri harus menerima keputusan tersebut dan tidak menyampaikan protesnya secara terbuka di luar pertemuan tersebut.
Hal serupa juga berlaku bagi para ulama. Para ulama yang ingin menyampaikan kritik dan saran hendaknya disampaikan melalui organisasi. Mereka dapat meminta waktu untuk bertemu langsung dengan para pemimpin dan menyampaikan kritik serta saran secara santun.