REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah adanya perpecahan diantara lima komisioner lembaga antirasuah. Johan menegaskan bila semua komisioner kompak menolak revisi UU KPK.
"Tolong, rumor yang beredar luas adanya ketidaksolidan pimpinan, satu mendominasi, saya kira tidak ada begitu," kata Johan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (15/12).
Johan mengatakan, bila revisi UU KPK bermaksud untuk melemahkan KPK seperti tertuang draf yang beredar, pihaknya akan tegas menolak. Ia pun membantah bila pimpinan yang KPK mengusulkan revisi UU KPK.
"Saya bantah bahwa pimpinan KPK mengusulkan revisi UU KPK. Tidak benar. Yang ada, KPK memberi jawaban terkait permintaan saran yang disampaikan Presiden mengenai empat hal," kata Johan.
Empat hal yang ditolak para pimpinan KPK, kata Johan, mengenai kewenangan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), kewenangan mengajukan penyelidikan dan penyidik independen, soal pembentukan Dewan Pengawas, dan pembatasan penyadapan.
"Kami secara terbuka juga telah menegaskan bahwa revisi UU KPK berpotensi melemahkan sehingga pimpinan sepakat tidak setuju," kata Johan. (Penetapan Pimpinan KPK Dipastikan Molor).
Johan menambahkan, revisi UU KPK semestinya didahului dengan revisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi UU KPK, lanjut dia, juga harus diharmonisasikan dengan KUHP dan KUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih.
Sementara itu, Plt Pimpinan KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan, bila melemahkan, dirinya juga menegaskan untuk menolak revisi UU KPK. Ruki mengakui bila Presiden Joko Widodo pernah menyurati KPK mengenai revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Surat tersebut, kata dia, berisi permintaan tanggapan KPK mengenai rencana revisi itu. "Surat ini ditandatangani berlima. Kami sepakat untuk menolak revisi UU KPK versi DPR," katanya.