REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menerangkan alasan ojek yang tidak dikategorikan sebagai transportasi publik. Alasannya ia nilai karena belum ada aturan yang mengatur keberadaan ojek.
"UU 22/2009 LLAJ tidak mengatur soal ojek. Ojek muncul sebagai angkutan umum paratransit karena beragam faktor, seperti krisis ekonomi 1998, tidak ada layanan transportasi umum legal, andaikan ada tapi tidak memadai," katanya, Senin (21/12).
Ia mencontohkan keberadaan ojek di kota Shanghai, Cina yang disediakan pangkalan agar tidak menganggu fasilitas pejalan kaki, namun kurang diminati, karena transportasi umum murah, humanis dan menjangkau hampir seluruh kebutuhan warga. Di Bangkok, lanjutnya, ojek dilegalkan dengan aturan yang ketat, berseragam, tidak boleh operasi di jalan utama, dan jumlahnya dibatasi.
Ia menilai, kenaikan jumlah kendaraan bermotor termasuk sepeda motor di perkotaan yang populasi sekitar 75 persen-80 persen dari total kendaraan bermotor yang ada turut memicu peningkatan impor minyak, dan juga pencemaran udara. "Ojek, solusi sesaat yang menyesatkan. Andaikan wakikota/bupati serius menata transportasi bermartabat, pasti warga tidak mau gnkan ojek seperti di Shanghai," kata Djoko menegaskan.
Era pilkada serentak yang belum lama dihelat, seharusnya dimanfaatkan warga untuk mendesak calon kepala daerah agar mau membenahi tata transportasi yan humanis. "Jangan hanya sekadar tempel foto/gambar diri di raga angkot, pikirkan juga kesejahteraan sopir dan keluarganya. Hal ini akan terwujud, jika ada political will, pasti bisa terwujud, tidak sulit tapi perlu niat yang disertai aksi," ujar Djoko.