Selasa 22 Dec 2015 17:21 WIB

'Kualitas Guru Terhambat karena Tumpang-tindih Kewenangan Pusat dan Daerah'

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Bayu Hermawan
Ribuan guru honorer yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ribuan guru honorer yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai upaya peningkatan kualitas guru masih terhambat, karena terdapat ketumpangtindihan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

"Selama ini masih terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah dan daerah yang menyebabkan peningkatan kualitas guru pun terhambat," jelas Koordinator ICW, Ade Irawan dalam kegiatan diskusi publik tentang 'Pengelolaan Guru: Resentralisasi atau Desentralisasi?' di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (22/12).

Menurutnya, hal itu terjadi akibat tidak ada aturan jelas ihwal pembagian tugas antara pusat dan daerah. Pada UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 dan PP Guru juga belum menggambarkan secara rinci.

Dalam hal ini terkait hal-hal apa saja yang perlu dilakukan pusat maupun daerah. Selama ini, kata Ade, hampir sebagian besar kepala daerah lebih memprioritaskan kebijakan yang lebih menguntungkan pihaknya.

Misal, mereka lebih mengutamakan kebijakan daerah pengangkatan, distribusi guru dan mutase. Sementara pada hal kapasitas dan peningkatan kualitas guru cenderung mengabaikannya.

Berdasarkan riset yang dilakukan ICW di beberapa daerah, banyak guru yang menginginkan agar kebijakan guru kembali ke pusat secara keseluruhan.

Hal ini dilakukan agar kepentingan politik di daerah bisa terhindari. Atau, bisa juga karena ketidaktahuan daerah ihwal hal-hal yang harus mereka laksanakan dalam pemerintahannya.

Ade menjelaskan juga momen Pemilu biasanya menjadi momok tersendiri bagi guru di daerah. Ini karena guru acapkali menjadi sasaran terutama oleh para pejawat.

Guru selalu dimanfaatkan untuk pemenangan suatu calon kepala daerah karena dianggap sebagai tokoh yang dekat dengan masyarakat.

Kemudian kondisi tersebut bisa semakin parah jika terdapat guru yang salah memberikan dukungan. Mereka biasanya mendapatkan hukuman mutase atau ditempatkan di sekolah yang jauh dari perkotaan. Jika menang, mereka akan dinaikkan pangkatnya oleh kepala daerah.

Dalam pandangan Ade, situasi ini jelas sebuah kekacauan dan rusaknya jenjang karier guru. Dengan kata lain, kedekatan dengan pimpinan daerah menjadi faktor penentu kenaikan jenjang karier guru.

Ia mengetahui betul bahwa pemindahan ini belum pasti bisa diterapkan. Pasalnya, sumber daya maupun anggaran pusat sangat terbatas. Meski begitu, dia harapkan pemerintah pusat maupun daerah bisa mencari solusi dengan kebijakan sesuai di masa mendatang.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement