REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradilan pemilihan kepala daerah (pilkada) dinilai tidak mampu memberikan keadilan elektoral secara paripurna. Hal ini karena ada ketentuan dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formal dapat diterimanya suatu perkara perselisihan pemilihan bupati/walikota dan gubernur.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan dengan pembatasan tersebut fakta-fakta kecurangan yang terjadi sama sekali tidak bisa dipersoalkan. "Dari 10 kota, 103 kabupaten, dan enam provinsi yang sudah mendaftarkan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK), hanya 19 kabupaten yang perkaranya akan diterima dan dilanjutkan ke pemeriksaan materi gugatan. Sisanya, semua akan rontok (dismiss) pada sidang pendahuluan," jelasnya, Rabu (23/12). Hal itu termasuk 21 wilayah yang memiliki selisih sangat tipis sekalipun karena melampaui batas maksimal yang ditetapkan, maka tetap tidak akan bisa mempersoalkan fakta atau indikasi kecurangan yang terjadi.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut mengatakan kondisi ini diperburuk oleh MK yang menyatakan tidak akan memeriksa gugatan kecurangan meskipun penggugat mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. MK memang tidak bisa melanggar ketentuan batasan selisih maksimal yang ditetapkan oleh undang-undang.
Karena itu, mengacu pada pendaftar per tanggal 22 Desember pukul 18.00, MK hanya akan mengadili materi perkara untuk 19 kabupaten. "MK harus memastikan diri tidak hanya memeriksa perselisihan hasil, tetapi didorong untuk memeriksa fakta atau indikasi pelanggaran yang memenuhi standard terstruktur, sistematif, dan masif serta mempengaruhi perolehan hasil," ujar Ismail. Perluasan obyek pemeriksaan terhadap pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif selain telah dilakukan MK sebelumnya, juga tidak menyimpang undang-undang.