Selasa 29 Dec 2015 18:03 WIB

Perpanjangan Izin Prinsip JICT Dinilai Langgar UU Pelayaran

Sejumlah serikat pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/9).Republika/Raisan Al Farisi
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sejumlah serikat pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/9).Republika/Raisan Al Farisi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perpanjangan izin konsesi PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT)  dinilai melanggar UU Pelayaran Nomor 17 tahun 2008 pasal 82 yang mengharuskan ada izin dari pemerintah

"Menteri BUMN mengeluarkan izin prinsip tanggal 9 Juni 2015 dengan syarat-syarat termasuk mendapatkan izin konsesi. Selain nomenklatur izin prinsip tidak ada di UU,” terang Ketua SP JICT Nova Sofyan Hakim, saat berbicara  di Diskusi Akhir Tahun 2015 Forum Kebijakan Ekonomi Nasional "Karut Marut Pelindo II: Mengungkap Pelanggaran Konstitusi," Selasa (29/12).

Menurutnya, p‎otensi kerugian negara mencapai Rp 36 triliun ketika terjadi perpanjangan kontrak.

"Kami mendesak manajemen agar mencabut segala bentuk intimidasi termasuk demosi, mutasi dan ratusan surat peringatan keapda pekerja JICT yang aktif membela kepentingan nasional. Karena terbukti bahwa perpanjangan kontrak JICT melanggar UU," desak Nova.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhipun mengimbau agar pemerintah membatalkan perpanjangan kontrak JICT paling lambat pada akhir Januari 2016.

Selain itu, perlu dilakukan perombakan‎ susunan Dewan Komisaris dan Direksi paska pembatalan perpanjangan kontrak JICT.

Fahmy juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut tuntas semua pihak yang terlibat dalam Pengambilan Keputusan Perpanjangan Kontrak JICT  yang melanggar UU dan merugikan negara.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement