REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Kepala BIN Sutiyoso menghadapi Din Minimi dan kelompoknya di Aceh menjadi perbincangan publik setelah pendekatan dialogis yang dilakukan menuai hasil positif.
Langkah soft approach ini menjadi antitesis dari pendekatan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap kelompok-kelompok pengacau keamanan di Tanah Air.
"Saya rasa pendekatan represif untuk penyelesaian persoalan yang terjadi selama ini tidak selalu terbukti dengan menurunnya angka tindak kekerasan itu sendiri," kata pengamat masalah pertahanan, Jaleswari Pramowardhani, di Jakarta.
Menurut Jaleswari, imbauan Presiden Jokowi untuk selalu mengedepankan proses dialog damai dalam menghadapi berbagai persoalan penting untuk dicoba. Kasus penanganan Din Minimi, lanjut Jaleswari, adalah salah satu contoh kelebihan dan keberhasilan dari pendekatan dialogis.
Ia menambahkan, dialog damai merupakan cara atau metode untuk menyelesaikan masalah perlu ditularkan ke daerah konflik lainnya. "Namun proses hukum yang adil juga menjadi bagian dari semangat dialog itu jika ada unsur pidananya," papar Jaleswari.
Peneliti senior di LIPI ini mengakui adanya sikap pro dan kontra di masyarakat menyikapi langkah dialogis yang dilakukan Kepala BIN. Namun, lanjutnya, pro dan kontra itu baik untuk menjadi diskusi di ranah publik.
Dengan demikian, bangsa iIndonesia lambat laun akan terampil dalam mendialogkan problem-problem yang sulit untuk didamaikan selama ini.
"Kasus Din Minimi adalah sebuah pintu masuk yang bagus. Tentu ini bukan proses yang mudah. Tapi kita harus berani menghadapinya," pungkas Jaleswari.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pemimpin kelompok bersenjata Aceh Nurdin Ismail alias Din Minimi beserta kelompoknya menyerahkan diri ke Kepala BIN Sutoyoso. Penyerahan diri itu terjadi setelah Sutiyoso berdialog dengan mereka.