REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Wakil Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH Mahally Fikri meminta Imigrasi Mataram segera mendeportasi 35 orang warga negara Cina yang diduga memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen keimigrasian yang sah. "Kalau bisa diberikan tindakan tegas, karena kalau WNA sudah masuk ke negara kita tanpa memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diatur undang-undang, lebih baik di deportasi," tegas Mahally Fikri di Mataram, Selasa (12/1).
Menurut dia, secara hukum dan Undang-Undang pemerintah dalam hal ini Imigrasi sudah sepantasnya menindak tegas 35 WNA asaal Tiongkok tersebut. Menurutnya, Indonesia akan berdiri tegak selama hukum ditegakkan. "Karena itu, Imigrasi jangan 'kejang', artinya jangan keras di luar aturan, tetapi tegas sesuai aturan," ujarnya.
Ia menambahkan, kehadiran 35 WNA tersebut di NTB untuk bekerja. Namun ternyata tidak dilengkapi dengan dokumen yang lengkap sesuai dengan aturan perundang-undangan. Menurutnya, ini merugikan dan merusak kehormatan negara.
"Karenanya kami meminta setiap peraturan yang dilanggar tidak boleh ditoleransi," kata politisi Partai Demokrat tersebut.
Sebelumnya, Kantor Imigrasi Mataram, Senin (11/1), menahan 35 WNA asal Cina karena tidak memiliki dokumen keimigrasian yang sah. Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Wasdakim) Raden Agung Wibowo menjelaskan 35 imigran tersebut ditemukan di wilayah Lombok Timur, tepatnya di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kecamatan Sambelia.
"Kita amankan mereka pada Senin (11/1) sekitar pukul 10.00 WITA. Dari hasil pemeriksaan awal, kita tidak menemukan dokumen keimigrasian mereka yang sah, melainkan hanya berupa fotokopi paspor, itu pun bagian depannya saja," kata Agung Wibowo.
Ia menjelaskan, ke 35 WNA asal Cina itu langsung digiring ke Kantor Imigrasi Mataram. Untuk sementara waktu akan dilakukan penahanan hingga ditemukan bukti otentik tujuan mereka ke Indonesia.
"Kegiatan dan keberadaannya belum bisa kita pastikan, karena saat ini masih dalam tahap pemeriksaan. Untuk langkah selanjutnya, kita menunggu dokumen asli yang katanya dipegang oleh pihak manajemen PLTU Sambelia yang berkantor di Jakarta," ujarnya.
Rencana awal pihak Imigrasi Mataram menindaklanjuti kasus ini, yakni dengan mengklarifikasi pihak manajemen PLTU Sambelia yang berdomisili di Jakarta. Hal itu untuk mengetahui dokumen keimigrasian 35 imigran tersebut.
"Apakah mereka datang ke sini untuk bekerja atau hanya melancong, itu belum kita ketahui. Kalau pun mereka datang untuk bekerja, kita lihat lagi dokumen aslinya, apakah sudah sesuai atau tidak," kata Agung.