Senin 18 Jan 2016 15:09 WIB

Kopel Soroti Hasil Evaluasi Kemendagri atas RAPBD DKI Jakarta

Direktur Kopel Indonesia, Syamsuddin Alimsyah
Foto: Andi Nur Aminah/Republika
Direktur Kopel Indonesia, Syamsuddin Alimsyah

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menyoroti hasil evaluasi Kemendagri atas RAPBD DKI Jakarta 2016 yang disampaikan beberapa waktuyang lalu. Direktur Kopel Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengatakan hasil evaluasi Kemendagri lemah dan tidak konsisten.

"Harusnya domain evaluasi itu memperkuat singkronisasi kebijakan dan  program perencanaan  nasional  ke  daerah.   Tapi ini malah abai   dengan asyik   bermain   di angka-angka", ujar Syamsuddin di Jakarta, Senin (18/1).

Syam, sapaan  akrab Syamsuddin   Alimsyah mengatakan, harusnya Kemendagri ikut mengawal UU kekhususan DKI Jakarta No 29   Tahun  2007. Misalnya, dengan mengevaluasi, apakah APBD DKI   sekarang   konsisten   dengan percepatan  pencapaian  RPJMD,  yang   akan berakhir tahun depan. Namun masih setumpuk janji yang belum   terpenuhi.  Termasuk juga apakah APBD Jakarta tercermin  kebijakan  sebagai daerah khusus.   

"Jangan-jangan APBD ini sama saja daerah lain, tidak ada kekhususan. Dalam APBD itu harus tergambar Jakarta sebagaidaerah khusus", tegasnya.

Oleh  karena itu, dalam melakukan evaluasi terhadap RAPBD, Kemendagri perlu memperhatikan  singkronisasi   perencanaan   tingkat   nasional   (RPJMN)   dengan dokumen   perencanaan   daerah   (RPJMD) dan capaiannya.  Mengingat,   tahun   2016 merupakan tahun terakhir periode pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta.

Syam mengtatakan, termasuk juga harusnya Kemendagri  melakukan evaluasi dari beberapa fasilitas DPRD yang berpotensi masuk domain korupsi tapi justru tidak dikritisi Kemendagri. "Terutama   yang  berkaitan  dengan   hak protokoler dan keuangan DPRD",  ungkap Syam.

Sebagai contoh hasil evaluasi Kemendagri terhadap RAPBD DKI Jakarta  2016, disebutkan anggaran tunjangan perumahan   sebesar  Rp 38,7  miliar dan  anggaran tunjangan  komunikasi intensif pimpinanan dan anggota DPRD sebesar Rp 11,4 miliar. Dimana  dari catatan Kemendagri diminta untuk penentuan besarannya harus diperhitungkan kembali, dan   disesuaikan dengan tetap memperhatikan aspekefektitas, efsiensi, kewajaran, kepatutan, penghematan, dan rasionalitas besaran serta penggunan anggaran. 

Syam menuturkan, Kemendagri perlu tegas apa boleh dianggarkan atau tidak." Kalau boleh  berapa.   Kemendagri   juga   harus baca regulasi produknya sendiri. Aturan tunjangan perumahan itu bagi daerah yang belum ada, dan tidak mampu," ujarnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement