REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Australia tidak siap menghadapi ancaman perang siber jika dibandingkan dengan negara seperti Cina dan Amerika Serikat. Militer negara ini juga tidak melakukan persiapan memadai menghadapi serangan siber pada sistem persenjataan mereka.
Demikian terungkap dalam laporan yang disampaikan pusat penelitian Australian Centre for Cyber Security (ACCS) pekan ini. Laporan yang disampaikan Profesor Greg Austin itu mengungkapkan respons Australia terhadap ancaman yang muncul dari dunia siber "sangat lamban dan terfragmentasi".
Australia bergantung pada Amerika Serikat dalam kebutuhan pertahanannya selama 60 tahun terakhir. Namun hal ini tidak akan banyak membantu dalam perang siber. Padahal, menurut laporan ACCS, Australia sebenarnya telah bergabung dalam aliansi intelijen negara Five Eyes.
"Ketergantungan negara dengan kekuatan menengah seperti Australia terhadap AS tidak akan banyak dampaknya dalam dunia siber," kata Prof Austin.
Berbeda dengan masa depan pertahanan laut, udara dan darat yang banyak diperdebatkan, kebutuhan keamanan siber Australia tidak banyak mendapat perhatian. Laporan itu menyatakan Australia bahkan tidak siap jika mengalami serangan siber untuk skala menengah saat ini.
Dalam studi terpisah yang dilakukan ACCS disebutkan Angkatan Bersenjata Australia (ADF) perlu memastikan sistem persenjataan saat ini mampu menahan serangan siber. Laporan yang ditulis Dr Keith Joiner menyebutkan Australia ketinggalan enam tahun dibandingkan AS.
"ADF buta terhadap kelemahan operasional sistem pertahanan mereka dari serangan siber," kata Dr Joiner.
Prof Austin menjelaskan mungkin saja sudah terlambat bagi Australia untuk mencegah kemungkinan terjadinya serangan siber.
Baca juga:
Indonesia Terapkan PPN Sapi Impor, Eksportir Australia Kaget
Sejarah Hari Ini: Zeppelin Jerman Jatuhkan Bom ke Inggris