REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil berharap pemerintah sebaiknya tidak bersikap reaktif dalam merespons aksi bom Thamrin. Apalagi, dengan cara mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Nasir lebih memilih untuk membahasnya bersama DPR melalui revisi Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Anti-terorisme) Nomor 15 Tahun 2003. Inisiatif revisi UU Anti-terorisme tersebut sudah muncul sejak tahun 2011 sehingga kondisinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini.
(Baca juga: Polisi Sketsa Wajah Pengirim Surat Ancaman Teror di Bali)
“Lambatnya perjalanan revisi UU Anti-terorisme tidak berbanding lurus dengan meluasnya aksi dan jaringan terorisme yang terjadi sehingga draft RUU Anti-terorisme perlu disesuaikan dengan perkembangan yang ada,” ujar legislator PKS dari daerah pemilihan Aceh ini, Rabu (20/1).
Nasir berharap pemerintah segera mengajukan rancangan draft revisi UU Anti-terorisme ini agar dapat masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Jika sudah masuk daftar prioritas 2016, DPR dan pemerintah akan berkomitmen untuk menyegerakan pembahasan paling tidak selama tiga hingga enam bulan ke depan.
Jika UU telah direvisi, maka Nasir yakin UU Anti-terorisme kelak juga akan memperbaiki koordinasi dan sinergi antaraparat penegak hukum, terutama dalam mencegah tindak pidana terorisme yang selama ini menjadi titik kelemahan. Perubahan pun diyakini tidak hanya merespons keberadaan ISIS tapi juga secara komprehensif mengatur perbaikan pola penegakan hukum secara menyeluruh dalam penanganan tindak pidana terorisme.
'Revisi UU Terorisme Ditakutkan untuk Penangkapan yang tak jelas'