REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak disebut menyetujui draf revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) pengambilan keputusan soal revisi UU KPK, PPP menjadi pihak yang menyampaikan tidak keberatan dengan pembahasan revisi UU KPK.
Anggota Baleg dari fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan sikap itu bukan berarti PPP menyatakan persetujuannya pada draf revisi UU KPK ini. “Makanya kemarin saya katakan tidak keberatan untuk dibahas, bukan setuju,” kata anggota Baleg dari fraksi PPP, Arsul Sani, Kamis (11/2). (Hidayat Nur Wahid: PKS tak Setuju Revisi UU KPK).
Arsul melanjutkan, sikap PPP sampai saat ini konsisten bersedia membahas soal revisi UU KPK. Namun, hal itu tidak serta merta menempatkan fraksi partai berlambang Ka’bah ini pada posisi menyetujui isi draf yang diusulkan oleh pengusul revisi UU KPK.
Menurut Arsul, dalam beberapa poin, PPP menolak isi draf tersebut untuk disahkan menjadi perubahan atas UU KPK sebelumnya. Dia memastikan akan ada perdebatan lagi dalam pembahasan tingkat I isi draf revisi UU KPK.
PPP, kata Arsul, hanya ingin merevisi UU KPK agar lembaga ini menjadi lebih kuat. Beberapa pasal yang akan didukung fraksi PPP di DPR adalah soal kewenangan untuk merekrut penyidik independen oleh KPK. Kewenangan ini dinilai dapat meningkatkan kualitas KPK dengan dukungan sumber daya manusia yang lebih mumpuni. Tidak hanya berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan saja.
PPP juga akan mendorong adanya perluasan organisasi di tubuh KPK. Jadi akan ada deputi baru untuk menguatkan yang sudah ada selama ini. Hal itu juga yang diusulkan pimpinan KPK saat menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan komisi III. Terkait kewenangan mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan), PPP menilai harus diberikan batas sebagai aturan.
Sedangkan dalam draf yang sudah ada, PPP menolak KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3. Soal dewan pengawas, sikap PPP menolak intervensi dewan pengawas pada pimpinan KPK. Saat ini memang wacana yang berkembang adalah dewan pengawas dipilih melalui proses terbuka melalui panitia seleksi, lalu diangkat Presiden.
Disisi lain, kata Arsul, dewan pengawas sebaiknya dipilih dan diangkat presiden. Namun, dia belum tahu apakah posisi dewan pengawas ini sama seperti lembaga non struktural lainnya semisal Bawaslu ke KPU atau DKPP untuk Bawaslu.
Menurut anggota Komisi III DPR RI ini, dewan pengawas tidak boleh melakukan intervensi. Mereka hanya akan bekerja kalau ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Selebihnya, bukan menjadi kewenangan dewan pengawas, termasuk soal izin untuk melakukan penyadapan.
“Nah kan ini ada pemberian izin soal penyadapan, dia tidak boleh seperti itu, dia baru bisa kalau ada laporan pelanggaran kode etik,” kata dia.