Jumat 12 Feb 2016 16:26 WIB

DPR Minta Daerah Setop Rekrut Guru Honorer

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Dwi Murdaningsih
 Sejumlah guru honorer dari Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (10/2). (Republika/WIhdan)
Sejumlah guru honorer dari Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (10/2). (Republika/WIhdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ribuan guru kategori 2 (K2) melakukan demostrasi pada Rabu (10/2) hingga Jumat (12/2) di depan Istana Negara. Aksi yang digelar ribuan guru honorer dari seluruh Indonesia itu, meminta kejelasan nasib mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun.

Menganggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Riza Patria, meminta sejumlah kementerian terkait agar segera bertindak. Pemerintah, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) mengusulkan dua solusi, pertama seleksi CPNS bagi mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Kedua, melalui seleksi pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja (P3K) bagi yang berusia lebih dari 35 tahun.

"Itu kan solusi. Silakan saja pemerintah membuat satu kebijakan, yang penting masalah ini dapat teratasi," kata Riza kepada Republika, Jumat (12/2).

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Anies Baswedan mengungkapkan, ada peningkatan drastis dalam penerimaan guru honorer. Penerimaan ini justru dilakukan bukan oleh pemerintah pusat, melainkan daerah. Bahkan, Anies menuding perekrutan itu tidak disertai pertimbangan yang matang.

Kepala sekolah juga melakukan hal serupa tanpa kualifikasi dan kompetensi yang jelas. Anies  menjelaskan, dalam 15 tahun terakhir, jumlah siswa meningkat 17 persen, sedangkan jumlah guru PNS meningkat 23 persen.

Namun, untuk jumlah guru honorer meningkat hingga 850 persen. Kini, rata-rata guru honorer itu menuntut untuk diangkat menjadi PNS. Padahal, yang merekrut mereka bukanlah pemerintah pusat, melainkan pemda, kepala sekolah, dan yayasan pendidikan.

Menanggapi hal tersebut, Riza meminta pemerintah pusat agar segera membuat regulasi kepada daerah ihwal perekrutan guru honorer. "Kalau perlu memberi sanksi bupati atau gubernur yang mengangkat honorer," jelasnya.

Selama ini, ia menilai, pemerintah pusat tidak mempunyai peranan kuat terhadap Pemda. Ditambah, kurangnya regulasi yang mampu membendung perekrutan tenaga honorer.

"Itu, memang menjadi masalah di setiap Pilkada. Kita juga sudah ingatkan setahun yang lalu, jangan sampai Pilkada menjanjikan begitu jadi  terlalu banyak diangat honorer," jelasnya.

Sehingga, Riza meminta kepada Kemenpan dan Kemendagri agar segera membuat regulasi maupun surat edaran tentang larangan menerima guru honorer.

Riza menilai, usulan Kemendikbud agar guru honorer bersedia ditempatkan di daerah terdepan menjadi salah satu jawaban yang solutif. Mengingat, masih banyak daerah-daerah yang kekurangan tenaga pendidik.

"Di daerah perbatasan, bisa menjadi salah satu prioritas, kita serahkan kepada pemerintah untuk mencari solusi dan terobosannya. Karena ini memang menjadi tanggung jawab pemerintah," tuturnya.

Riza juga meminta pemerintah pusat agar memberikan sanki kepada pejabar di daerah termasuk kepala sekolah yang mengangkat guru honorer lagi. "Jangan ada diadakan lagi, karena yang ada saja belum bisa terselesaikan," kata dia melanjutkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement