REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir seluruh hidup Diyah dihabiskan untuk mengurus rumah dan keperluan para pemilik rumah. Dia mulai bekerja membanting tulang sejak berusia 12 tahun. Saat itu, Diyah kecil bermimpi hidup dengan lebih layak.
"Saya hanya berharap, DPR bisa mengusahakan peraturan yang adil untuk melindungi hak kami, pembantu rumah tangga (PRT), " kata Diyah, salah satu PRT saat beraudiensi dengan Komisi IX DPR, Senin (15/2) sore.
Perempuan berambut panjang itu mengaku lahir di keluarga serba berkekurangan. Ketika ada tawaran untuk tinggal di rumah sebuah keluarga kaya asal Jawa Timur, Diyah kecil tidak menolak.
"Sejak saat itu saya bekerja untuk keluarga yang saya ikuti. Bangun sebelum subuh dan bekerja sampai pukul 12.00 WIB hampir setiap hari. Saya tidak diberi kesempatan menghubungi orang tua, bahkan saat hari raya pun saya tidak boleh menjenguk keluarga," kata Diyah.
Masa remaja hingga paruh awal dewasanya dihabiskan sebagai PRT. Sampai saat ini pun, dia tetap menjadi PRT di rumah salah satu keluarga di Jakarta. Meski mengaku mencintai pekerjaannya, ketidakadilan tetap menimpanya.
Baru-baru ini, gaji Diyah 'disunat' secara sepihak oleh sang majikan. Penyebabnya, majikannya tidak percaya saat dia minta izin sakit selama dua hari. Selain gaji dipotong secara paksa, Diyah pun tidak diberi hak untuk biaya berobat.