REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan untuk menempuh jalur non yuridis dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Deputi Bidang Analisis Data dan Informasi Strategis Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Andogo Wiradi mengatakan, jalur non hukum ditempuh karena diyakini memiliki risiko yang paling kecil.
Dia menuturkan, pemerintah sebelumnya pernah menempuh jalur hukum, salah satunya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor Timur yang pada waktu itu ingin memisahkan diri dari Indonesia. Melalui proses hukum, negara diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 10 juta untuk setiap keluarga.
Mereka yang mendapat ganti rugi bukan hanya warga asli eks Timor Timur. Tetapi juga warga dari Pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi lainnya yang pada waktu itu tinggal di Timor Timur. Pada saat itu, rumah dan harta benda mereka dihancurkan oleh kelompok-kelompok garis keras yang ingin merdeka dari Indonesia.
Menurut Andogo, penyelesaian kasus pelanggaran HAM dengan cara ganti rugi itu pun juga tak selesai. Sebab, ada puluhan ribu keluarga yang dianggap menjadi korban dan jumlahnya sulit diverifikasi.
"Kalau diarahkan ke hukum, larinya akan ke ganti rugi," ucap dia di kantornya, Gedung Bina Graha, Jalan Veteran, Jakarta, Senin (15/2).
Maka itu, Andogo menyebut saat ini pihaknya tengah mencari formula penyelesaian kasus HAM jalur non yuridis paling tepat yang tidak merugikan pihak mana pun. Hal ini, kata dia, sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang meminta agar kasus pelanggaran HAM diselesaikan dengan cara rekonsiliasi.
Dalam waktu dekat, sambung dia, KSP akan mengundang sejumlah pihak terkait untuk membahas bentuk-bentuk reskonsiliasi yang akan dilakukan pemerintah. "Kita harus cari cara penyelesaian paling komprehensif, yang tidak melahirkan masalah baru," ucapnya.