REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Didik Mukrianto meminta revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) sehingga tidak ada institusi yang kewenangannya melebihi batas.
"Penambahan kewenangan itu harus proporsional dengan tupoksi dan kewenangan masing-masing institusi," katanya di Gedung Nusantara II Jakarta, Selasa (16/2).
Didik mengatakan fraksinya mendukung langkah pemerintah dalam peningkatan deteksi dini aksi terorisme namun masing-masing institusi tidak boleh melampaui kewenangannya. Ia mencontohkan Badan Intelijen Negara (BIN) seharusnya melakukan sinergi utuh dengan kelembagaan kepolisian dalam upaya pencegahan aksi teror.
"Misalnya BIN bisa melakukan deteksi dini informasi yang dianggap ada sel teroris yang bekerja maka harus segera disampaikan ke kepolisian agar sesuai kewenangannya masing-masing," jelasnya.
Didik mengatakan apabila ingin ada penguatan fungsi pencegahan maka kewenangan penangkapan dan introgasi harus tetap menjadi bagian di aparat kepolisian sementara BIN memberikan informasi awal.
Menurutnya, penguatan pemberantasan teroris bukan "an sich" ada di UU namun bagaimana sinergi antarkelembagaan menjadi satu kesatuan.
"Banyak upaya antisipasif yang dilakukan Kepolisian RI seperti Densus 88 yang melakukan pencegahan awal dan menangkal sebelum aksi," katanya.
Didik menjelaskan dalam Rapat Gabungan Komisi I dan Komisi III DPR dengan pemerintah pada Senin (15/2), terungkap bahwa BIN sudah mendeteksi ada tindakan terorisme. Namun yang menjadi pertanyaan, menurut dia, mengapa pengeboman itu tetap terjadi karena itu bentuk ambivalensi apa yang disampaikan BIN.
"Kalau BIN sudah mampu mendeteksi dini, segera libatkan aparat keamanan untuk bisa deteksi dan pengintaian sel-sel mencurigakan," katanya.
Anggota Komisi III DPR itu mengatakan cegah dan tangkal merupakan hal penting namun yang paling efektif adalah bagaimana mengoptimalkan sinergi aparat negara dengan masyarakat.