REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Netta S Pane menyebut kinerja Detasemen Khusus (Densus) 88 pada aksi penembakan terduga teroris malah seperti sinetron. Ia mengatakan, unsur penegakan hukum tak terlihat dalam aksi penembakan itu.
Ia mengaku kecewa karena Densus 88 tak lagi mengutamakan fungsi pokok kepolisian, yaitu penangkapan target. Menurutnya, aksi penembakan terhadap setidaknya 116 terduga teroris, seperti dalam data Komnas HAM, malah tak menunjukkan adanya penegakan hukum. Apalagi, banyak kemungkinan salah tembak. (Muhammadiyah Minta Jokowi Usut Kematian Siyono).
"Polri cenderung euforia terhadap Densus atas nama pemberantasan terorisme. Mereka eksekusi mati untuk tingkatkan pamor dan citra pejabatnya. Akibatnya, penangkapan dan pemberantasan terorisme seperti jadi sinetron karena banyak wartawan. Tentu, itu bukan jadi penegakan hukum," katanya kepada Republika.co.id, Ahad (13/3).
Ia menjelaskan, Densus 88 mampu menjalankan fungsinya dengan baik pada masa-masa awal berdiri. Ia menyebut, Densus bisa bekerja profesional sesuai standar operasi penangkapan teroris. Meski begitu, laporan penyiksaan terhadap orang-orang yang ditangkap Densus 88 sudah sering mencuat sejak saat itu.
Ia merasa setelah pengungkapan kasus bom Bali 1, Densus 88 mulai bertindak layaknya malaikat pencabut nyawa. "Sejak terungkap bom Bali 1, Densus cenderung jadi algojo, bukan bekerja secara profesional yang seharusnya melumpuhkan tersangka," katanya.
Sebelumnya, terduga teroris Siyono (39 tahun), yang ditangkap Densus 88 pada Selasa (8/3), tewas di Rumah Sakit Bhayangkara, Yogyakarta. Karopenmas Polri, Brigjen Agus Rianto, mengatakan, Siyono tewas karena menyerang anggota yang mengawal sehingga terjadi perkelahian di dalam mobil. (Diduga Teroris, Siyono Pulang Tinggal Jasad).