REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai seseorang yang memperjuangkan perlindungan HAM, pada awalnya sikap Aung San Suu Kyi dalam memperjuangkan demokrasi di Burma dengan cara damai melawan kekerasan junta militer mendapat apresiasi dari banyak pihak.
Akan tetapi rasa salut dan kagum tersebut memudar seiring sikap Suu Kyi yang diam dan terkesan menyetujui tindakan kekerasan dan diskriminatif Pemerintah Junta Militer Burma terhadap warga Rohingya yang beragama Islam.
Peneliti senior Imparsial Poengky Indarti melihat ada dualisme sikap atau diskriminasi perlakuan yang ditunjukkan oleh Suu Kyi.
"Saya sangat heran, bagaimana mungkin seorang pemimpin sipil tega melihat rakyatnya sendiri (yang kebetulan beragama lain dan bersuku lain) diperlakukan dengan kekerasan oleh pemerintah militer," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (29/3).
Sebagai tokoh karismatik yang memperjuangkan demokrasi di Burma dan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian, Suu Kyi seharusnya menghormati dan melindungi seluruh rakyat tanpa diskriminasi apapun, baik ras, agama, jenis kelamin, usia dan kebangsaan.
Menurut dia, sangat berbahaya jika Suu Kyii yang saat ini memperoleh kekuasaan lebih besar setelah bergesernya pemerintahan dari Junta Militer menuju kekuasaan sipil, mempunyai sikap diskriminatif. Pasalnya kebijakan-kebijakannya pasti juga akan bersifat diskriminatif.
Jika demikian, kata Poengky, maka dapat dipastikan perlindungan dan penegakan HAM tidak akan dapat dipenuhi oleh pemimpin yang diskriminatif.
"Sudah dapat dipastikan bahwa negara tidak akan berubah menjadi demokratis. Lebih jauh lagi, perdamaian di ASEAN dan dunia akan terganggu dengan adanya kekerasan dan diskriminasi terhadap Rohingnya," ujarnya.
Poengky pun mendukung petisi yang diajukan para aktivis melalui Change.org yang ditujukan pada Komite Nobel dan Aung San Suu Kyi.