REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Jakarta menggelar acara Mukernas II, untuk persiapan menghadapi Pilkada serentak 2017 dan Pemilu 2019.
Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta, Djan Faridz mengaskan bahwa Mukernas yang digelar oleh pihaknya adalah legal, dengan menggunakan landasan hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung.
"Sekarang PPP itu mempunyai keputusan Mahkamah Agung (MA), artinya ini keputusan MA ini putusan yang tetap dan inkracht. Setiap tindakan yang melawan keputusan yang final dan inkracht, ini adalah perbuatan yang melawan hukum," ujarnya di Jakarta, Selasa (29/3).
"Jadi kalau ada keputusan MA menyatakan bahwa muktamar Jakarta adalah yang sah, kalau ada orang yang mengatakan PPP yang berbeda dengan keputusan MA itu perbuatan yang melawan hukum," katanya.
Ia juga menilai Mukernas yang digelar pihaknya tidak akan mengganggu proses islah yang tengah berjalan, dan siap mengikuti proses itu selama sesuai koridor hukum dan keputusan MA.
Djan sempat menyindir Mukernas yang dilakukan oleh PPP kubu Romahurmuziy beberapa waktu lalu, yang dinilai tidak berlandasan pada hukum.
"Saya ini penduduk yang taat hukum. Sudah ada ketentuan hukum yang dilarang merampok ya taatilah hukum, nah juga begitu ini. Kalau ada orang yang berniat baik pada baik ke keluarga PPP saya ikut," jelasnya.
Sementara Wakil Ketua Umum PPP, N'uman Abdul menyarankan, sebaiknya pemerintah yakni Kemenkum HAM dibawah pimpinan Yasonna Laoly taat terhadap keputusan MA. Sebab, putusan MA itu sifatnya final dan mengikat. Menurut dia, Kemenkum HAM itu tidak boleh ikut campur dalam masalah internal partai.
"Kewenangan yg diberikan ke Kemenkum HAM itu atributif, bukan substantial mengatur. Bahkan fungsi mediasi saja sudah tidak boleh," kata dia.
Dengan demikian, dia meminta ke Yasonna tidak mengkangkangi putusan MA dan segera mengesahkan hasil Muktamar Jakarta. "Jadi kalau pemerintah engga mau mengakui muktamar Jakarta, lalu pasal apa yang dipakai," katanya.