REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Sayyaf yang diduga menjadi pelaku penyanderaan sepuluh WNI Indonesia di Mooro, Filipina, merupakan aktor islam garis keras di Filipina. Abu Sayyaf sendiri menyatakan diri mendukung ISIS dan membuka basis militer di Mooro. Namun, aksi yang ia lakukan di tengah laut antara Tarakan dan Filipina merupakan salah satu cara bagi Abu Sayyaf menunjukkan eksistensinya lagi.
Pengamat Militer dan Pertahanan Universitas Indonesia Muradi menilai, penyanderaan ini memiliki dua tujuan. Pertama, ia hendak menarik perhatian internasional bahwa mereka masih ada dan eksis di dunia terorisme. Kedua, mereka memang bertujuan untuk mendapatkan uang dengan menyandera 10 WNI.
Penyanderaan ini tidak hanya menekan Indonesia, tetapi juga Filipina dan negara-negara lain. Jumlah yang diminta oleh Abu Sayyaf sendiri cukup banyak, yaitu Rp 14,3 miliar. Mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan uang untuk keberlangsungan ideologinya.
"Ini motifnya memang war terorism, bukan sekadar perompakan biasa. Tetapi, memang mereka ingin eksistensi dan uang," ujar Muradi saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (31/3).
Meski bukan kali ini saja Indonesia menjadi tawanan, dalam kasus Abu Sayyaf, Indonesia dinilai tidak boleh gegabah. Ia membandingkannya dengan perompakan yang terjadi di Somalia. Saat itu, motif perompakan sendiri memang berorientasi uang. Warga Somalia sengaja melakukan hal tersebut sebagai respons dari negaranya yang gagal.
"Beda, di sana memang mafia. Kalau ini, mereka memang ingin kita juga melihat aksi mereka," ujar Muradi.