REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas meminta agar aparat kepolisian terbuka atas meninggalnya Siyono (34), warga Klaten pasca ditangkap Densus 88. Busyro pun meminta agar pihak kepolisian bisa mengawal hingga proses autopsi selesai.
"Sampai proses autopsi, nanti hasil otopsinya bisa dibantu pengamanannya juga," kata Busyro di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Menteng, Kamis (31/3).
Menurutnya, PP Muhammadiyah akan terus melakukan advokasi, lantaran banyak kejanggalan dalam meninggalnya terduga terorisme tersebut.
Lagi pula, advokasi tersebut guna mencari tahu sebab-musabab meninggalnya Siyono apakah wajar atau tidak. Bukan untuk membuktikan apakah Siyono benar sebagai gembong teroris atau bukan.
"Jadi kami tidak masuk, apakah Siyono itu gembong teroris seperti yang dilansir pejabat polisi. Kami tidak masuk kesana," ungkap Busyro.
Menurut Busyro, jika Siyono dianggap sebagai gembong dan membahayakan, tidak serta merta menjadi alasan untuk menewaskan Siyono. Karenanya, model-model penanganan kasus-kasus demikian tidak boleh diteruskan oleh pihak Kepolisian, dalam hal ini Densus 88.
"Kenapa tidak dilumpuhkan kakinya saja lalu dibawa ke pengadilan atau fair trial. Nanti Jaksa bisa memberikan pertanyaan, mengkoreksi, hakim juga bisa dan publik pum memperoleh hak," katanya.
Selain itu, ia juga menginginkan agar hasil autopsi nanti menjadi bahan koreksi bagi kepolisian. Hal ini untuk memperbaiki pola penanganan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
"Apapun hasilnya ya sudah kita koreksi. Kelemahan-kelemahannya harus dikoreksi publik, kepolisian kan lembaga publik, Densus juga tak pernah diaudit padahal itu langsung bersinggungan dengan HAM nyawa seseorang, keamanan, keselamatan seseorang," katanya.