Jumat 01 Apr 2016 11:37 WIB

Mau Nyalon Pilkada, Mantan Napi Harus Buat Pengumuman di Media

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Achmad Syalaby
Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA - Dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, pemerintah mengusulkan aturan mantan narapidana yang ingin maju pemilihan kepala daerah (pilkada) harus secara jujur dan terbuka mengumumkan kepada publik, terkait statusnya sebagai mantan narapidana.

Model pengumumannya diatur paling tidak pernah dimuat di media massa dan diperkuat dengan surat keterangan dari pemimpin redaksi media massa lokal dan nasional, disertai bukti pemuatannya.

Sebagaimana dimuat dalam Pasal 45 ayat 2b draft revisi UU Pilkada yang telah diserahkan pemerintah ke DPR, Senin (28/3) lalu. Dimana dalam ayat tersebut dijelaskan di bagian awal bakal pasangan calon harus menyertakan surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan berkuatan hukum tetap dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon. 

Di bagian kedua tertulis, ada pun bagi mantan narapidana harus sudah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai buktinya, sebagai bukti pemenuhan syarat calon.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sumarsono, aturan tersebut sebatas usulan pemerintah. Keputusan finalnya akan dibahas dalam rapat dengan DPR. Tujuannya kata Sumarsono, agar masyarakat mengetahui bahwa bakal calon yang dipilih merupakan mantan narapidana.

"Ini penting sebagai wujud transparansi politik demokrasi. Mengetahui betul siapa bakal calon yang akan dipilih," ujar Sumarsono di Jakarta, Kamis (31/3) sore.

Selain itu, usulan itu juga mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait keikutsertaan mantan narapidana di Pilkada 2015 lalu.MK menilai Pasal 7 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945, karena menghambat mantan narapidana maju sebagai calon kepala daerah. Bahwa mahkamah menganggap Undang-undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945.

Menurut mahkamah, pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum mengandung arti pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memilih mantan narapidana atau tidak. Namun, apabila mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik, berlaku syarat kedua putusan MKNo.4/PUU-VII/2009. Yaitu, dapat mencalonkan setelah lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement