REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti LIPI dan sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam mengatakan Soekarno dan korban 30 September 1965 perlu direhabilitasi.
Maksud rehabilitasi di sini adalah penyetaraan dengan warga Indonesia lainnya, karena tragedi 1965 termasuk pelanggaran HAM berat, dan orang-orang yang masuk golongan PKI atau diduga PKI telah didiskriminasi. Tap MPRS No. 33 Tahun 1967 menyatakan Presiden Soekarno ikut membantu gerakan PKI.
"Tidak mungkin Presiden ikut membantu gerakan yang akan menggulingkan dirinya sendiri, rehabilitasi untuk Soekarno tidak hanya memberinya gelar Pahlawan Nasional. tetapi juga meluruskan kembali sejarah yang terjadi pada waktu itu," jelas Asvi.
Menurut dia tragedi 1965 adalah kasus kekeliruan kebijakan pemerintah yang bisa dituntut di Pengadilan HAM Adhoc. Hak itu dilihat dari jangka waktu, tempat, pelaku dan korban yang jelas yakni komando pengasingan sejumlah tokoh ke Pulau Buru dalam rentang tahun 1965 hingga 1975.
Selain itu, para korban juga harus direhabilitasi dengan menghapuskan diskriminasi pada anak turunan orang yang diduga PKI. Menurut dia pemerintah harus bertanggung jawab meminta maaf kepada para korban.
Ketua Sekber 65 Winarso mengatakan, pemerintah Indonesia tidak perlu meminta maaf mengenai peristiwa tersebut, tetapi pemerintah perlu memenuhi hak-hak para korban.
"Kita tidak perlu memaksakan pemerintah untuk meminta maaf, karena struktur kebudayaan kita berbeda, yang penting mereka bertanggung jawab untuk memenuhi hak korban, seperti pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat pada 1965-1966," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu merehabilitasi nama baik para korban serta memberikan kompensasi sesuai kemampuan negara. "Sebenarnya secara tidak langsung pemerintah telah memberikan kompensasi seperti dana kesehatan, hal yang sekecil ini sudah merupakan hal besar bagi korban," kata dia.