Rabu 20 Apr 2016 21:53 WIB

Pengamat: Kewenangan Kompolnas Perlu Diperbesar

 Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) berjabat tangan dengan Anggota Kompolnas di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (29/1). (Antara/Prasetyo Utomo)
Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) berjabat tangan dengan Anggota Kompolnas di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (29/1). (Antara/Prasetyo Utomo)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menilai perlu ada perubahan undang-undang untuk memperbesar kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hamdan mengatakan, selama ini peran Kompolnas sebatas membantu Presiden menentukan arah kebijakan Polri serta pengangkatan dan pemberhentian Polri.

"Masalah yang mendasar memang kewenangan. Melihat TAP MPR dan undang-undang kewenangan Kompolnas hanya melampirkan ke atas, kepada Presiden, bukan ke bawah," kata Hamdan di Jakarta, Rabu (20/4).

Dengan terbatasnya kewenangan ini, peran Kompolnas sebagai pengawas eksternal pun sulit dimunculkan. "Maka perlu diubah UU hingga posisi dan kewenangan Kompolnas lebih jelas dan menyentuh hal-hal yang substansif," kata dia.

Tapi perubahannya nanti juga dipengaruhi kemauan dari pihak Polri. Perubahan UU ini pun harus dirumuskan dengan hati-hati agar tidak terjadi diskresi di lapangan. "Inisiatif bisa dari DPR, bisa dari Presiden. Tapi karena tentang kepolisian pasti ada pertimbangan dari polisi. Mau 'enggak' polisinya," kata dia.

Struktur organisasi Kompolnas pun sebaiknya diubah, tidak lagi dipimpin rangkap oleh Menkopolhukam sebagai ketua dan Mendagri sebagai wakil ketua. Dia menilai hal itu penting agar Kompolnas lebih independen dan memiliki posisi yang penting.

"UU itu kan menentukan anggota Kompolnas terdiri dari tiga kelompok yakni rakyat, pemerintah, dan akademisi. Dari pemerintah tidak harus menteri, bisa dari masyarakat biasa tapi dikirim pemerintah," kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement