REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang jaksa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum di Indonesia.
"MK yang membuat keputusan bahwa jaksa tidak bisa mengajukan PK, adalah langkah mundur dalam penegakan hukum," kata Jaksa Agung HM Prasetyo, Senin (16/5).
Ia menilai keputusan itu terlihat sekali tidak diperhatikannya rasa keadilan bagi para korban tindak pidana korupsi. Putusan itu, lanjutnya, sama dengan memberikan perlindungan kepada pelaku tindak pidana kejahatan termasuk koruptor.
Ia menegaskan putusan itu juga membuat kejaksaan sebagai penuntut umum tidak bisa berjuang secara maksimal dalam memperjuangan keadilan bagi korban tindak pidana.
Diakui, MK sudah beberapa kali yang tidak menguntungkan bagi kejaksaan diantaranya mengenai obyek gugatan praperadilan sesuai Pasal 77 KUHAP.
MK memutuskan jaksa tidak bisa mengajukan PK setelah mengabulkan uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai Rp904 miliar.
"Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo," kata Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 pekan lalu.