REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Matahari baru saja tenggelam di ujung cakrawala, senja pun telah berlalu dan hari mulai gelap. Waktu itu Kapal Tugboat Henry milik PT Gelobal Trans-Energy yang ditumpangi Dede Irfan Hilmi (25 tahun) tengah berlayar menuju perairan Indonesia.
Kapal Tugboat Henry sebelumnya mengangkut batubara dari Tarakan, Kalimantan Utara ke Cebu, Filipina. Kemudian kapal tersebut berlayar ke perairan Indonesia. Saat perjalanan pulang ke Indonesia, di perairan Malaysia dekat Pulau Ligitan nampak sebuah speed boat mendekat.
Speed Boat tersebut seperti angkatan laut yang sedang berpatroli. Dede pun awalnya mengira mereka adalah angatan laut yang berpatroli di wilayah perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Menurut Dede, ada lima orang berseragam loreng dengan persenjataan yang sangat lengkap di atas kapal Speed Boat tersebut. Sangat mirip petugas yang sedang berpatroli.
"Saya tidak menyangka kalau itu pasukan Abu Sayyaf, sebab beberapa menit lagi kami akan memasuki perairan Indonesia," ujar Dede kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Dede yang menjadi Anak Buah Kapal (ABK) Tugboat Henry bersama tiga temannya langsung dibawa orang-orang berseragam loreng tersebut. Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Dede bersama tiga orang temannya tidak melawan dan bersedia dibawa menjauhi Indonesia.
Dede pun menjadi salah satu sandera kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina. Selama dalam penyanderaan, ia diperlakukan sama seperti sandera yang lainnya.
"Selama disandera ya sedih kami di sana bukan tamu, kita tawanan, pastinya sengsara," ujar Dede.