REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan, Indonesia bisa memberlakukan akumulasi hukuman dalam suatu kasus yang dilaporankan lebih dari satu pengaduan.
Komentar tersebut merujuk pada tuntutan jaksa penuntut umum dalam persidangan seorang kontraktor bernama Soni Sandra (SS) alias Koko (60 tahun) yang diduga memperkosa 58 anak di Kota Kediri, Jawa Timur. Sebab, jaksa hanya menuntut Soni selama 13 tahun penjara.
"Sekarang kalau perkaranya sendiri-sendiri, ya bisa. Lebih baik memang sendiri-sendiri melaporkan, nanti di persidangan tinggal di akumulasikan (hukumannya)," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (18/5).
Hibnu menegaskan, hukum di Indonesia bisa mengakumulasi hukuman. Namun, yang terpenting, para korban tidak boleh melapor secara bersama-sama. Sebaiknya, mereka melaporkan Soni sendiri-sendiri. Sehingga, bisa memperberat hukuman pada pelaku pemerkosaan itu.
Hibnu mengingatkan, apabila negara sudah memberlakukan darurat kejahatan seksual pada anak, maka semua aspek pidana dapat dijatuhkan pada pelaku. Apakah itu pidana pokok berupa tuntutan, atau hukuman tambahan.
"(Pemberatan hukuman pelaku kejahatan seksual pada anak) salah satu untuk mengerem seperti itu. Karena hukuman seumur hidup dan mati belum bisa," jelasnya.
Pemerkosaan 58 anak perempuan terjadi di Kota Kediri dan sekitarnya sejak 2013. Sebanyak 17 korban sudah teridentifikasi, enam di antaranya dalam proses peradilan. Proses hukum kasus yang menimpa VD dan AK telah berlangsung sejak 2015.
Pada Kamis (19/5) PN Kota Kediri akan membacakan vonis atas tersangka Sony dengan 13 tahun penjara. Kemudian kasus empat pelajar lainnya ditangani PN Kabupaten Kediri akan memasuki masa pembacaan vonis pada 24 Mei mendatang.