REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah daerah menagih transparansi yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat terkait pembagian dana bagi hasil (DBH) sektor minyak dan gas bumi (migas). Alasannya, sejumlah pimpinan daerah mengeluhkan kalau selama ini daerah sekadar mendapat dana bagi hasil migas tanpa ada kejelasan berapa besaran penerimaan negara dari sektor migas secara keseluruhan.
Bupati Sorong, Papua Barat Stepanus Malak mengungkapkan bahwa daerah tidak pernah dilibatkan dalam penghitungan dana bagi hasil. Padahal, dalam UU nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sudah diatur bahwa DBH untuk minyak bumi dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk pemerintah daerah. Sedangkan untuk gas bumi dibagi dengan imbangan 69,5 persen untuk pemerintah pusat dan 30,5 persen untuk pemerintah daerah. Namun meski porsinya sudah jelas diatur, Stepanus mengaku daerah tak tahu berapa keseluruhan penerimaan negara dari sektor migas.
"Kenyataan di pusat begitu. Kita tak tahu tiba tiba dapat bagi hasil migas. Padahal sejak awal kita tidak ikut prosesnya. Kedua, lucunya ada daerah yang atau kabupaten baru, daerah bukan penghasil minyak APBDnya bisa lebih banyak dari kami yang daerah penghasil minyak," ujar Stepanus saat ditemui di pameran Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) di Jakarta, Jumat (27/5).
Stepanus mengatakan, transparansi pemerintah saat ini sangat dibutuhkan menyusul penurunan harga minyak dunia yang berimbas pada penurunan penerimaan negara sektor migas. Belum lagi, dampak lebih jauh dari penurunan harga minyak dunia adalah pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun ini. Bahkan ia menyebutkan bahwa APBD Sorong tahun ini mengalami defisit hingga Rp 200 miliar, dengan nilai total APBD 2016 yang disetujui sebesar Rp 1,6 triliun. Sektor migas disebut menyumbang 70 persen dari total APBD.
"Pemerintah harus transparan. Termasuk gimana menghitung lifting minyak. Jangan hanya sebatas level tertentu tapi sampai pusat. Kami tidak tahu uang dari migas berapa banyak dan gimana membaginya," katanya.
Wakil Bupati Sarolangun, Jambi Pahrul Rozi juga menyebutkan selama dua tahun belakangan DBH dan dana alokasi khusus (DAK) dipotong 10 persen dari seharusnya. Hal ini disebabkan oleh penuturan penerimaan negara akibat hantaman penurunan harga minyak dunia yang memaksa banyak kegiatan di industri hulu migas terhenti. Ia menilai, pemotongan 10 persen dari DBH ini sangat terasa karena APBD Kabupaten Sarolangun tahun ini sebesar Rp 1,2 triliun.
Sementara itu, Direktur Dana Perimbangan Kementerian Keuangan Rukijo menjelaskan bahwa pengurangan dana bagi hasil migas atau malah dana alokasi khusus memang tak terhindarkan karena penurunan harga minyak dunia. Ia menyebutkan, penurunan harga minyak dunia mau tak mau membuat penerimaan negara sektor migas menurun. Kondisi ini diperparah dengan penurunan produksi minyak serta lesunya industri mineral batubara.
"Otomatis kan ekonomi lesu. Potensi pajak baik PPN dan PPh turun. Kalau penerimaan negara turun tidak mungkin kita paksakan belanja negara sama," kata Rukijo.