REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Windia menilai, Perda Provinsi Bali No.9 tahun 2012 tentang subak dianggap tidak relevan, karena dalam definisinya disebutkan subak adalah organisasi tradisional yang bersifat agraris, relegius, dan ekonomis.
"Hal itu tidaklah benar. Memang semua subak di Bali yang ada sejak sepuluh abad, bersifat sosial, agraris, dan religius. Tetapi subak tidak bersifar ekonomis. Bahkan kegiatan subak sama sekali tidak efesien dan tidak ekonomis," kata Ketua Puslit Subak Unud Prof Dr I Wayan Windia di Denpasar, Ahad (29/5).
Ia mengatakan, hanya sejak beberapa tahun terakhir ini beberapa subak telah didampingi agar memiliki kegiatan ekonomi. Kegiatan tersebut sejatinya tidaklah salah. "Lalu, subak yang ada di Bali sekarang mau dikemanakan oleh Perda itu? Sebab, filsafat subak berbeda dengan filsafat Barat. Subak mengedepankan efektivitas, bukan efesiensi. Subak mengedepankan komunalitas, bukan individualitas," ujar Prof Windia.
Subak mengedepankan sosio-kulktural, bukan ekonomis. Itulah sebabnya subak diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Ada "kata" budaya dalam pengakuan UNESCO tersebut.
"Sebetulnya soal definisi, sudah pernah saya perdebatkan di DPRD Bali, ketika rancangan perda itu dibahas. Namun sama sekali tidak digubris. Kalau soal definisi saja sudah kacau-balau, lalu akan dibawa ke mana subak kita? Hal ini juga menunjukkan kacau-balaunya alam pikir pembuat rencangan perda subak tersebut," ujar guru besar Fakultas Pertanian Unud.
Ia menambahkan, kekeliruan lain dalam perda itu adalah menganggap lembaga subak analog dengan desa adat (pakraman). Padahal kedua lembaga itu sangat berbeda. Subak adalah lembaga dengan batas-batas hidrologis, sedangkan desa adat adalah lembaga dengan batas-batas administratif.
Oleh karenanya tidak relevan kalau dalam sistem subak dibentuk wadah yang disebut dengan Majelis Utama, Majelis Madia, seperti layaknya lembaga Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) dalam kelembagaan desa adat. Majelis seperti itu adalah sebuah lembaga untuk wadah komunikasi. Sedangkan subak memerlukan wadah koordinasi, dalam bentuk subak-gde, subak-agung, dan memerlukan juga lembaga sedahan dan sedahan agung.
Inti atau basis dari wadah koordinasi subak adalah kebutuhan bersama terhadap air (sumber air irigasi), agar subak bisa saling pinjam air irigasi. Sementara itu subak memerlukan juga lembaga birokrasi untuk berkoordinasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya.
"Dalam konteks ini saya sangat kecewa, karena dalam perda itu sama sekali tidak menyinggung eksistensi lembaga sedahan dan sedahan agung. Dengan demikian Perda No.9 tahun 2012, tampaknya jauh lebih jelek dibandingkan dengan Perda No.2 tahun 1972. Saya juga khawatir, kalau lembaga majelis dalam sistem subak akan bisa digunakan untuk kepentingan politik praktis," ujar Prof windia.
Subak sudah eksis di Bali sejak 1.000 tahun silam hingga sekarang, meski petani dan subak diterpa berbagai goncangan dan tekanan. Hal itu membuktikan bahwa lembaga subak adalah lembaga yang kuat. Ada atau tidak ada perda subak, lembaga subak tetap saja eksis, sepanjang masih ada petani, sawah, dan sumber air irigasi.
"Oleh sebab itu, yang diperlukan dalam perda subak adalah tentang apa yang dapat diberikan pemerintah kepada petani dan subak. Juga perlu dibuat tentang eksistensi subak abadi," harap Prof Windia.