REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengakui ada keterlambatan dalam eksekusi impor sapi untuk memenuhi kebutuhan puasa dan lebaran. Padahal, sejak November-Desember 2015 pemerintah sudah mempersiapkan rencana kuota impor sapi.
"Itulah perbedaan antara perencanaan dengan implementasi eksekusi kami, khususnya di sapi tidak optimal," ujar Thomas di Jakarta, Kamis (9/6).
Thomas mengatakan, kebutuhan daging sapi sebesar 70 ribu ton per bulan dan untuk puasa serta lebaran kebutuhan melonjak dua kali lipat menjadi 150 ribu ton. Dia memperkirakan kekurangan pasokan daging sapi antara 20 ribu ton sampai 50 ribu ton.
Untuk eksekusi impor sapi tersebut, pemerintah telah menugaskan kepada perusahaan BUMN namun tidak menutup kemungkinan swasta juga dapat bergerak giat. Menurut Thomas, apabila pemerintah tidak melakukan impor dikhawatirkan terjadi kerusakan struktural industri peternakan sapi yakni pemotongan sapi indukan.
"Jadi itu sayang sekali kalau sapi indukan pun dibantai, karena memang harga tinggi lebih menguntungkan kalau dipotong sekarang daripada nunggu beberapa tahun untuk sapi indukan itu melahirkan. Secara agregat itu patut disesalkan," kata Thomas.
Jika persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari semestinya antisipasi lonjakan harga daging bisa dilakukan. Thomas menjelaskan, tahun lalu pemerintah sudah mempersiapkan perencanaan itu dan sudah ada perhitungan untuk impor sapi pada 2016. Hal ini sudah disepkati dalam rakor di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian agar izin itu segera diterbitkan semua supaya tidak terjadi keterlambatan impor sapi bakalan.
Tapi, yang menjadi persoalan saat ini adalah ketidaksukaan masyarakat akan daging sapi beku yang rencananya akan diimpor dalam kuota 27.400 ton. Menurut Thomas, sampai saat ini masyarakat cenderung lebih suka mengonsumsi daging segar padahal distribusi logistik daging segar masih sulit diatur.
"Daging segar itu kan cepat busuk, kalau kita biasakan masyarakat konsumsi daging beku itu bisa distok berbulan-bulan," ujar Thomas.