Kamis 16 Jun 2016 03:40 WIB

Sosiolog: Warga Tawuran tak Pahami Nilai Agama

Red: Yudha Manggala P Putra
Bentrok/ilustrasi
Foto: pesatnews
Bentrok/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Nia Elvina mengatakan aksi tawuran saat bulan puasa marak terjadi di sejumlah wilayah, seperti di Mojowarno, Tebet, Palmerah, serta Cimanggis terjadi karena warga yang terlibat aksi tawuran tidak memahami nilai-nilai keagamaan.

"Saat bulan puasa seharusnya masyarakat banyak mengisi kegiatannya dengan beribadah, bukan justri berkelahi. Aktifitas bentrokan di bulan puasa ini seakan membudaya di masyarakat, lantaran terus terjadi setiap tahunnya. Ironisnya tidak hanya orang dewasa yang melakukan tawuran, melainkan anak-anak turut ikut serta," kata Nia melalui pesan elektronik di Jakarta, Rabu (15/6).

Menurut Nia, nilai agama yang mengajarkan masyarakat untuk hidup harmonis, rukun, dan damai belum mendarah daging. Hal tersebut menyebabkan emosi mudah naik dan memicu aksi perkelahian.

"Akar masalah yang utama adalah tidak mendarah dagingnya nilai-nilai agama mengenai saling mengasihi sesama umat manusia," kata dia.

Nia menambahkan, nilai Pancasila seperti sila pertama dan kelima belum diterapkan maksimal oleh masyarakat. "Jika sila pertama dan kelima diimplementasikan, maka tawuran anak-anak dan dewasa tidak akan terjadi, karena nilai keadilan, kesejahteraan, dan persatuan dienyam oleh masyarakat Indonesia," lanjut dia.

Untuk mengatasi masalah kekerasan ini, Nia mengatakan perlu adanya peran banyak pihak, seperti keluarga dan para ulama. "Tugas ulama adalah mendarah dagingkan nilai Islam ke masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Selain itu keluarga juga diharapkan tidak bersikap permisif terhadap fenomena tawuran ini," paparnya.

Nia juga mengatakan perilaku masyarakat yang saat ini dinilai 'sakit', terpengaruh akibat banyaknya pejabat Negara yang terlibat aksi kriminal, seperti tindak korupsi dan narkoba. Untuk itu peran pemerintah juga penting untuk memberi contoh yang baik kepada masyarakatnya agar memiliki pribadi yang baik.

"Ketidakjujuran berkembang sangat pesat, justru itu saya kira yang paling efektif harus dilakukan (pejabat) Negara. Bisa dibenahi dengan menanamkan kembali nilai-nilai agama, Pancasila, dan semua aspek pendidikan," kata dia.

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.”

(QS. Al-An'am ayat 152)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement