REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil mengusulkan agar pemerintah dan DPR mengubah mekanisme pergantian Kapolri dan Panglima TNI. Diharapkan di masa mendatang, proses pergantian pucuk pimpinan di Polri dan TNI tak lagi melakui DPR, agar tidak lagi berbau politis.
"Ke depan kita minta agar DPR dan pemerintah segera merubah mekanisme pergantian Panglima TNI dan Kapolri, ke depan pergantian tidak perlu melalui parlemen," ujar Direktur Imparsial Al Araf di Jakarta Selatan, Ahad (19/6).
Ia menjelaskan alasannya karena apabila pergantian masih melalui parlemen maka akan menggiring politisasi terhadap jabatan Kapolri dan Panglima TNI. Contohnya, DPR merupakan lembaga politik yang terdiri dari fraksi-fraksi partai politikus sehingga ketika putusan Presiden masuk dalam ruangan DPR maka akan ada nuansa politisasi.
"Kita kan ingin tidak ada nuansa politisasi dalam pergantian Kapolri dan Panglima TNI maka itu harus dihindari karena kalau terjadi akan ada tarikan-tarikan dalam politik," katanya.
Al Araf juga menjelaskan dalam sistem presidensial pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI cukup melalui hak prerogratif Presiden. Sehingga saat Presiden sudah menunjuk satu nama maka tidak perlu lagi melalui kajian DPR.
"Oleh karena itu pemilihan ke depan cukup melalui presiden. Tapi karena hari ini UU belum berubah ya mekanisme DPR harus dilewati," jelasnya.
Namun apabila ingin memperkecil kemungkinan politisasi sambungnya maka yang harus dilakukan adalah mempercepat proses Fit and proper rest. Karena apabila semakin di undur maka akan menimbulkan ruang dan kesempatan untuk politisasi.
"Kalau molor-molor itu akan menimbulkan ruang politisasi," ucapnya.
Ia menambahkan kepolisian merupakan ujung tombak sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia. Sehingga pergantian polri nanti diharapkan akan mampu memberikan ruang nahkoda baru di institusi kepolisian.
"Inikan memberikan warna baru bagi kepolisian apakah akan hitam atau putih," ujarnya lagi.