REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Insiden-insiden penerobosan nelayan Cina yang terjadi di perairan Kepulauan Natuna tak luput dari perhatian Washington. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Amerika Serikat (AS) merasa tren pendampingan para nelayan oleh patroli laut Cina dalam kejadian-kejadian itu mengkhawatirkan.
Dalam sambungan telepon dengan sejumlah media Asia termasuk Republika pada Rabu (22/6), Kementerian Luar Negeri AS menyatakan masih menganalisis lokasi persis insiden terkini di Natuna yang terjadi pada Jumat (17/6) pekan lalu. Kendati demikian, fakta petugas resmi Pemerintah Cina hadir dalam insiden tersebut jadi perhatian khusus AS.
Terlebih, pengawalan petugas tersebut bukan yang pertama kalinya dalam insiden di Natuna. “Pendampingan oleh patroli laut Cina terhadap para nelayan tersebut adalah tren yang mengganggu,” kata seorang pejabat senior Kemenlu AS menjawab pertanyaan Republika.
Kemenlu AS juga menilai penyertaan militer dalam kegiatan nelayan Cina mengindikasikan ada upaya penegasan jangkauan klaim Cina atas wilayah-wilayah terluar di Laut Cina Selatan. Hal tersebut, kata pejabat senior tersebut, berpotensi mengganggu stabilitas regional.
Baca: Sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia Mesti Konsisten Berkeberatan
Perairan sebelah utara Kepulauan Natuna memang berbatasan langsung dengan “Sembilan Garis Putus-Putus” alias penanda wilayah Laut Cina Selatan yang diklaim Cina. Dalam perhitungan lembaga think-thank resmi Partai Komunis Cina, wilayah laut yang diklaim Cina bahkan bersinggungan dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Koarmabar TNI AL sebelumnya melansir telah melakukan penangkapan terhadap Kapal Cina Han Tan Cou 19038 di Laut Natuna, Kepulauan Riau pada Jumat (17/6). Kapal tersebut, menurut TNI AL, adalah satu dari belasan kapal lainnya yang kedapatan melakukan pemancingan ilegal dalam wilayah laut Indonesia.
Menurut kronologi yang disampaikan Panglima Koarmabar TNI AL Laksamana Muda TNI Achmad Taufiqoerrohman, penangkapan itu sempat coba dihentikan patroli laut Cina. Kendati demikian, para nelayan beserta perahunya tetap berhasil ditangkap.
Kejadian serupa terjadi pada 19 Maret 2016 lalu. Saat itu, patroli laut Cina berhasil menggagalkan upaya penyitaan kapal nelayan ilegal Cina oleh TNI AL di perairan Natuna.
Dalam kedua insiden, pemerintah Cina melayangkan protes resmi terhadap Indonesia dengan alasan para nelayan mencari ikan di traditional fishing ground (wilayah pemancingan tradisional) nelayan-nelayan Cina sejak dulu. Pemerintah Indonesia menolak klaim tersebut dengan alasan hukum laut internasional tak mengenal istilah tersebut.
Tensi di Laut Cina Selatan belakangan memanas menjelang putusan tribunal internasional atas gugatan Filipina terhadap klaim Cina atas sejumlah pulau di Laut Cina Selatan. Cina menyatakan secara tegas tak akan mematuhi putusan tersebut apa pun hasilnya dan tetap mengklaim sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan sebagai wilayah mereka.
Di lain pihak, Kemenlu AS mendesak seluruh pihak bersengketa menaati putusan tribunal internasional yang diperkirakan tak lama lagi keluar. Kendati enggan secara eksplisit menyatakan keberpihakan, AS berulang kali menekankan hubungan militer negara tersebut dengan Filipina tak tergoyahkan.