REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan hingga akhir Juni 2016 tercatat 141 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT).
"Kasus yang terakhir tercatat adalah kekerasan yang terjadi terhadap PRT anak di Riau. Selain dipukuli, dia juga tidak diberi makan," kata Lita melalui pesan tertulis di Jakarta, Sabtu (25/4).
Menurut dia, kasus di Riau itu menambah deretan PRT dan PRT anak yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan majikan. Catatan tersebut masih mungkin bertambah karena Lita meyakini banyak kasus kekerasan terhadap PRT dan PRT anak yang tidak terungkap.
PRT dan PRT anak rentang mengalami kekerasan di rumah tangga tempat kerjanya karena rumah dianggap sebagai wilayah pribadi sehingga seringkali luput dari pengawasan dan kontrol sosial.
"Dengan banyaknya kasus kekerasan yang dialami PRT dan PRT anak di rumah tangga tempat kerjanya, Jala PRT menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang tidak kunjung membahas dan memujudkan perlindungan terhadap PRT," tuturnya.
Karena itu, Lita mendesak DPR dan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang dan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak Bagi PRT.
"Indonesia merupakan negara dengan jumlah PRT terbesar baik sebagai negara tempat kerja maupun negara asal PRT migran. Di dalam negeri, Jala PRT mencatat terdapat 10,7 juta orang yang bekerja sebagai PRT," katanya.
Namun, di balik jumlah PRT baik di dalam negeri maupun yang menjadi PRT di luar negeri, Indonesia masih mengalami kekosongan hukum untuk melindungi mereka. Hal itu menyebabkan terdapat ruang eksploitasi yang sistematis dan berbagai bentuk kekerasan yang dialami PRT.