REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG - Blok-blok minyak dan gas bumi di Perairan Natuna, Kepulauan Riau dikenal memiliki tantangan dari sisi teknologi untuk bisa mengolahnya. Selain faktor alam di mana anjungan lepas pantai harus didirikan di atas laut lepas, kandungan karbon dioksida yang diproduksi oleh Lapangan Natuna cukup tinggi. Namun teknologi yang sudah dijalankan oleh Pertamina EP Field Subang dinilai bisa menjadi alternatif.
Manajer Field Subang Armand Mel Hukom menyebutkan, selama ini Pertamina Subang telah melakukan pemisahan atau pemurnian CO2 untuk menekan kandungan CO2 dari 23 persen menjadi hanya 5 persen. Residu yang ada lantas dijual kepada industri pengolahan makanan dan minuman untuk dimanfaatkan.
Menurutnya, teknologi ini bisa saja ditetapkan untuk mengurangi kandungan CO2 dalam gas dari Lapangan Natuna agar bisa dijual ke konsumen. Armand yakin Indonesia bisa melakukannya. Hanya saja, menjelaskan bahwa tantangan dalam mengolah migas Natuna tak hanya perkara pengurangan CO2. Kondisi alam dan kebutuhan teknologi dalam eksplorasi dan produksi juga menjadi catatan tersendiri.
"Teorinya bisa, karena proven. Total Indonesia punya lapangan lepas pantai. Pertamina EP juga punya. Kalau ditanya bisa atau tidak saya bilang bisa. Namun semuanya kembali ke keekonomiannya. Karena posisi alam sebagai lautan lepas dan tantangan lainnya," ujar Armand di kantor Pertamina EP Aset 3 Field Subang, Senin (18/7).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IGN Wiratmaja Puja menyebutkan, Blok Migas di Natuna memang memiliki kendala dalam hal kebutuhan investasi dalam angka yang besar. Kompleksitas pengolahan juga diperlukan lantaran kandungan CO2 yang tinggi.
"Pemrosesan khusus juga kita perlukan. Jadi akan memerlukan PSO besar. Konstruksinya juga terapung. Kemudian jauh dari pasar konsumen," ujar Wiratmaja.