REPUBLIKA.CO.ID, MUMBAI -- Lembaga hak perempuan Muslim India melatih perempuan untuk menjadi hakim atau "qazi" di tengah peningkatan permintaan keterwakilan perempuan di peran yang biasa dilakukan pria itu.
Bharatiya Muslim Mahila Andolan (BMMA) melatih peserta gelombang pertamanya, terdiri atas 30 perempuan di bidang hukum agama, hukum negara dan hak jender. Kegiatan satu tahun itu untuk mencetak perempuan hakim agama di seluruh India, kata salah satu pendiri lembaga tersebut.
Undang-Undang di India mengizinkan Muslim, kelompok kecil terbesar di negara itu, mengatur urusan pernikahan, perceraian, dan warisan sesuai dengan ajaran agama. Hakim agama, jabatan yang biasanya diwariskan, memiliki peran penting mengesahkan pernikahan, perceraian, juga perkara waris.
"Tradisinya, semua hakim agama adalah pria, dan keputusan mereka tak pernah dipertanyakan, meski seringkali tak adil buat perempuan," kata Zakia Soman, salah satu pendiri BMMA di Mumbai.
"Namun, cukup penting untuk mencetak hakim agama perempuan yang mampu mendengar dan memperhatikan korban wanita yang cukup rentan. Lagipula, Al Quran tak melarang perempuan menjadi hakim agama," katanya.
Langkah itu ditempuh di tengah tingginya ketidakpercayaan atas hukum yang dinilai para penggiat cukup diskriminatif terhadap perempuan Muslim. Survai BMMA pada tahun lalu menunjukkan, lebih dari 90 persen perempuan muslim ingin mengakhiri tradisi "talak tiga" dan poligami.
Mahkamah Agung, bulan lalu mengatakan akan mempelajari seberapa jauh hal itu dibahas dalam hukum Islam. Pihak itu juga mendengar permohonan agar dihentikannya para pria muslim yang menceraikan istrinya dengan "menalak" sebanyak tiga kali.
Umat muslim mengisi 13 persen total populasi India sebanyak 1,2 miliar jiwa. Data pemerintah menunjukkan banyak dari mereka berada di kelompok yang terpinggirkan. Perempuan yang dilatih jadi hakim agama banyak berasal dari kalangan pekerja dan aktivis di negara bagian seperti Maharashtra, Rajasthan, Madhya Pradesh, Tamil Nadu, dan Bihar, terang Soman.
Sejumlah negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Malaysia dan India sudah memiliki "qazi" perempuan. Hakim agama dapat membantu mencegah pernikahan dini, memastikan pernikahan berlangsung sukarela, dan menjamin perceraian dilakukan setelah menjalani mediasi dan diikuti keputusan adil bagi perempuan, terang Soman.
Dewan Hukum Pribadi Seluruh Umat Muslim India (AIMPLB), lembaga swadaya masyarakat, mengawasi seluruh permohonan yang terkait dengan hukum agama yang menyasar perorangan di negara itu, mengajukan kritik terhadap hakim agama perempuan.
"Perempuan tak berhak menjadi hakim agama," kata Maulana Khalid Rashid Farangi Mahali, sekretaris AIMPLB. "Lagipula tak ada gunanya, masih banyak lelaki yang dapat menjadi hakim agama. Jadi hal itu tak diperlukan," katanya.