Jumat 22 Jul 2016 15:05 WIB

Berantas Kejahatan Satwa Harus Sinergis

Rep: Sonia Fitri/ Red: Yudha Manggala P Putra
Dirjen Penegakan Hukum LHK Rasio Rido Sani beserta jajaran penegakan hukum KLHK, memberikan keterangan kepada Media terkait hasil operasi penertiban Operasi Penertiban Perdagangan dan Peredaran Satwa Liar Dilindungi  di kawasan Kedoya, Jakarta (15/1).
Foto: Dok : Humas Kemenhut
Dirjen Penegakan Hukum LHK Rasio Rido Sani beserta jajaran penegakan hukum KLHK, memberikan keterangan kepada Media terkait hasil operasi penertiban Operasi Penertiban Perdagangan dan Peredaran Satwa Liar Dilindungi di kawasan Kedoya, Jakarta (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia terus berupaya memberantas kejahatan perdagangan tumbuhan dan satwa liar (TSL). Namun, dalam pelaksanaannya tidak bisa berdiri sendiri. Penegakan hukum harus diiringi penguatan kerja sama antara negara sumber, negara tujuan dan negara transit TSL diperjualbelikan.

"Dengan begitu, jaringan perdagangan ilegal antarnegara terputus," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam sambutannya di Perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Siak, Riau, Jumat (22/7).

Ia menguraikan, sepanjang periode 2010-2014 jumlah kasus TSL yang berhasil diselesaikan sebanyak 146 kasus dari total 188 kasus atau sebesar 77,6 persen. Meskipun jumlah kasus yang terselesaikan cukup tinggi, namun kecenderungan kasus kejahatan perdagangan dan peredaran ilegal TSL terus meningkat.

Menteri Siti menyebut, wildlife crime telah menjadi Transnational Organized Crime. Kejahatannya setara dengan korupsi, pencucian uang, kejahatan terorganisasi, senjata api ilegal, obat-obatan, dan terorisme. "Kejahatan TSL begitu menarik bagi pelakunya karena menjanjikan keuntungan yang sangat besar," ujar dia.

Nilai perdagangan satwa ilegal mencapai 15 miliar-20 miliar dolar AS per tahun. Hal tersebut merupakan angka perdagangan ilegal yang sangat besar di dunia. Di mana nilainya hampir sama dengan perdagangan narkoba, senjata, dan manusia.

Selain membangun sinergi antarnegara, upaya konservasi secara langsung efektif mengatasi wildlife crime. Konservasi menekankan pada upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati dan secara tegas melarang adanya perburuan TSL dilindungi. Konservasi juga mengatur agar pemanfaatan TSL dilakukan dengan optimal agar kondisinya tetap lestari.

Upaya konservasi, lanjut dia, juga secara nyata diarahkan untuk mengurangi konflik manusia-satwa liar dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan konservasi. Sehingga dukungan sosial untuk perlindungan satwa liar meningkat dan ruang gerak perburuan akan berkurang.

"Buktinya, berdasarkan data, dari catatan kurun waktu 1993-2004 terdapat penambahan 100 fauna baru," tuturnya. Sedangkan untuk rentang 2005-2014 ada lebih dari 269 jenis baru hayati yang ditemukan hanya dari peneliti LIPI.

Konservasi juga berdampak pada peningkatan jumlah satwa dari jenis burung, mamalia, amphibi dan reptilia, serta ikan hampir mendekati dua kali lipat. Untuk jenis kupu-kupu dan tumbuhan bahkan meningkat pesat dengan rentang antara 10-20 kali lipat.

Data tersebut berdasarkan informasi kekayaan keanekaragaman hayati yang baru terkumpul sekitar 30 persen untuk fauna dan 50 persen untuk flora yang berada di alam Indonesia. Indonesia telah menempatkan konservasi sebagai salah satu pilar pendukung pembangunan nasional.

Hutan konservasi di Indonesia menempati porsi 22 persen dari total luasan hutan Indonesia yang mencapai 126,35 juta hektare yaitu seluas 27,54 juta hektare. Luasan tersebut harus dikelola dengan pendekatan multidimensi, komprehensif, sehingga perlindungan dan pelestarian alam dapat berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Menteri Siti menekankan, kawasan konservasi harus menjadi bagian dari sumber kesejahteraan masyarakat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement