REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris menilai tidak perlu ada penambahan kewenangan TNI yang berlebihan dalam revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, misalnya menjadi leading sector dalam pemberantasan teroris.
"Jadi tidak perlu penambahan kewenangan TNI yang berlebihan di dalam revisi UU terorisme, jangan sampai nanti justru menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum, khususnya pada tindakan pemberantasan terorisme," katanya, Jumat (22/7).
Dia mengatakan, jangan sampai malah terjadi tumpang tindih kebijakan dan undang-undang yang justru memunculkan potensi semakin sulitnya koordinasi yang dilakukan oleh berbagai institusi.
Charles menjelaskan, kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala tertentu sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
"Dua UU tersebut adalah buah dari reformasi dan sudah mengatur Tupoksi TNI termasuk menjaga TNI agar tidak memerangi rakyatnya sendiri. Selain itu, terdapat 14 aturan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)," katanya.
Politikus PDIP itu mengatakan, tugas utama Polri adalah sebagai penegak hukum dan TNI adalah terkait pertahanan Negara khususnya perang. Menurut dia, tugas utama militer di negara demokrasi adalah dididik, dilatih dan dibina untuk menghadapi persiapan untuk perang.
"Pelibatan militer dalam OMSP termasuk salah satunya mengatasi terorisme sifatnya hanya perbantuan, sementara, dan didasarkan pada keputusan politik negara, dan yang terpenting sebagai pilihan terakhir setelah institusi sipil tidak lagi dapat mengatasinya," katanya.