REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Nursuhud, mengatakan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) penerima vaksin palsu diduga lebih dari 14 rumah sakit (RS) swasta.
"Temuan kami di lapangan mengindikasikan adanya keterlibatan RS lain di luar 14 RS yang ada saat ini. Jumlah korban vaksin palsu pun diperkirakan lebih banyak," ujar Nursuhud kepada wartawan di Jakarta, Ahad (24/7).
Indikasi tersebut, lanjut dia, ditarik dari laporan para orangtua di daerah dan laporan satgas vaksin palsu saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR beberapa waktu lalu. Selain itu, dibentuknya satgas vaksin palsu yang diketuai Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), juga perlu dipertanyakan lebih lanjut.
Sebab, kata Nursuhud, perwakilan Kemenkes itu seharusnya menjadi salah satu pihak yang mestinya diperiksa dalam kasus vaksin palsu. "Dengan begitu, informasi data RS, korban dan penanganan sampai sejauh mana bisa diketahui dengan lebih jelas. Kalau saat ini, penanganan yang dilakukan Kemenkes terkesan terlambat," ungkap dia.
Selain itu, Nursuhud juga tidak sepakat jika pemerintah menyatakan tidak ada dampak terhadap pemberian vaksin palsi kepada anak. Pasalnya, banyaknya keluhan orangtua akan kesehatan dan kurangnya kekebalan tubuh anak membuktikan bahwa peredaran vaksin palsu tetap membahayakan.
Pada 14 Juli lalu, Kemenkes membuka identitas 14 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) penerima vaksin palsu. Mayoritas fasyankes berada di Bekasi.
Adapun 14 fasyankes yang dimaksud adalah RS DR Sander (Bekasi), RS Bhakti Husada (Cikarang, Bekasi), Sentral Medika (Gombong), RSIA Puspa Husada, Karya Medika (Tambun, Bekasi), Kartika Husada (Bekasi), Sayang Bunda (Bekasi), Multazam (Bekasi), Permata (Bekasi), RSIA Gizar (Cikarang, Bekasi), Harapan Bunda (Kramat Jati, Jakarta Timur), Elizabeth (Bekasi), Hosana (Cikarang) dan Hosana (Bekasi).