REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Ahmad Syafii Maarif menegaskan bahwa klaim klaim simpatisan paham kekerasan terorisme bahwa teroris Santoso mati syahid itu salah besar. Artinya syahid itu hanya versi mereka, bukan syahid yang sesuai dengan ajaran islam rahmatan lil alamin.
“Menurut mereka (teroris) tapi itu syahid yang dibuat-buat. Itu terjadi karena teroris itu menganut teologi sesat. Dia sudah membunuh banyak orang, tentara dibunuh, orang islam dibunuh, dan banyak lagi masyarakat yang tidak salah dibunuh. Apakah itu syahid?” kata Buya Syafii Maarif dalam Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS Bersama Muhammadiyah di Yogyakarta, kemarin.
Buya Syafii Maarif menilai teologi sesat jelas-jelas telah menyelewengkan nilai-nilai islam rahmatan lil alamin atau islam yang membawa rahmat bagi alam semesta. Disiniah peran tokoh agama dibutuhkan untuk dalam pencegahan terorisme di Indonesia. Tapi ia juga mengingatkan bahwa pemilihan tokoh agama juga harus selektif karena ada yang mengaku tokoh agama tapi sekaligus bapak teror.
Menurutnya, tokoh agama yang benar adalah yang menjadikan konsep atau filosofi rahmatan lil alamin sebagai acuan dalam memberi pemahaman dan pembelajaran pada umat. “Kalau ajarannya melakukan tindakan kekerasan, itu sudah berkhianat dengan konsep rahmatan lil alamin. Dan itu sama saja mereka menggunakan teologi maut. Tokoh agama yang benar mengembangkan teologi yang membela kehidupan,” jelas Buya Syafii.
Seperti diketahui Satuan Tugas Operasi Tinombala gabungan TNI dan Kepolisian RI berhasil melumpuhkan Komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah. Santoso tewas dalam baku tembak dengan Satgas Tinombala, dalam hal ini tim Alfa 29 Batalion 515 Jember, di Pegunungan Biru, Desa Tambarana, Poso Pesisir Utara, Poso, Sulawesi Tengah, Senin (18/7) pekan lalu.
Selain itu, Buya Syafii Maarif juga menepis anggapan bahwa diperpanjangnya operasi penumpasan teroris atau sebut sebut saja Operasi Tinombala adalah rekayasa aparat Kepolisian karena ada bantuan dana dari luar negeri. Ia menegaskan itu tidak benar. Karena itu, perlu ada dialog terus menerus dalam hal ini BNPT dan Densus 88 kepada masyarakat luas, tokoh masyarakat, apakah itu kiai atau para guru sehingga kita tidak menimbulkan salah terus menerus yang menghabiskan energi.
Sementara tokoh masyarakat Poso yang juga Dosen Fisip Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, Dr. Muzakir Tawil, MSi, mengungkapkan dalam konteks berbangsa dan bernegara, perjuangan yang mengarah ke jihad sebenarnya bisa tersalur dalam wadah-wadah dan mekanisme yang ada. Indonesia tidak mengenal perjuangan yang mengatasnamakan jihad diluar yang sudah ditetapkan islam.
“Jalan atau perjuangan yang ditempuh oleh Santoso adalah jalan yang harus dikaji. Langkah yang dijalani Santoso itu perlu diperbaiki karena melawan negara itu jelas salah. Memang sulit memperbaikinya dan itu memerlukan pendekatan multidisiplin dan memakan waktu yang lama,” kata Muzakir.
Menurut Muzakir, masalah penyelesaian masalah Poso perlu waktu lama karena persoalannya tidak melulu ideologi, tapi juga sosial, ekonomi, politik, dan rasa kecewa. Pemerintah memerlukan pendekatan yang multi dimensi untuk menyelesaikan persoalan Poso dan melibatkan berbagai stakeholder. Selain itu, juga diperlukan pemahaman dari masyarakat.