REPUBLIKA.CO.ID, ST PETERSBURG -- Saat hubungan Turki dengan negara-negara Barat menegang, pascakudeta gagal di Turki 15 Juli lalu, Presiden Recep Tayyip Erdogan akan melakukan perjalanan ke Rusia pada Selasa (9/8). Dalam kunjungannya tersebut, Erdogan akan menemui Presiden Rusia Vladimir Putin.
Hubungan Turki dengan Moskow memang telah mencair, setelah sebelumnya Rusia menjatuhkan sanksi perdagangan karena jet tempur mereka ditembak jatuh dekat perbatasan Turki-Suriah. Kunjungan Erdogan kali ini 'bertepatan' dengan meregangnya hubungan Ankara dengan negara Barat.
Erdogan dan banyak warga Turki marah dengan kekhawatiran Barat akan tindakan mereka terhadap pelaku kudeta, tapi mengabaikan apa yang mereka sebut peristiwa berdarah sebelumnya. Pemerintah Turki juga menyalahkan kudeta pada para pengikut Fethullah Gulen yang kini berada di pengasingan di Amerika Serikat.
Ketegangan dengan Barat meningkat ketika Menteri Luar Negeri Jerman mengatakan tak bisa berdiskusi dengan Turki karena seperti pembicaraan 'dua planet berbeda'. Kanselir Austria juga menyarankan diakhirinya pembicaraan keanggotaan Turki di Uni Eropa.
Menurut mantan diplomat Turki dan analis di lembaga think tank Carnegie Eropa, Sinan Ulgen, bagi Erdogan pertemuan dengan Putin menjadi kesempatan untuk memberikan sinyal ke Barat bahwa mereka memilih strategis pilihan lain.
"Ada persepsi bahwa Turki secara strategis bisa condong ke Rusia jika hubungan dengan Barat tak bisa dipertahankan. Ada juga insentif Rusia yang menggunakan krisis antara Turki dengan Barat sebagai cara melemahkan kekompakkan NATO," kata Ulgen.
Pertemuan Erdogan dengan Putin akan menjadi pertemuan kedua Erdogan dengan kepala negara asing sejak kudeta. Pada Jumat (5/8), Erdogan menjamu Presiden Kazakhstan yang berkunjung ke Ankara. Para pejabat Turki mempertanyakan, mengapa tak ada pemimpin negara Barat yang datang menunjukkan solidaritas.
Direktur Umum lembaga think tank yang dekat dengan Kementerian Luar Negeri Rusia, Russian International Affairs Council, Andrey Kortunov mengatakan, kudeta telah membuat Turki lebih dekat dengan Rusia. Namun menurutnya, kedua negara masih memiliki perbedaan serius.